Ini cuma analisa asal-asalan tanpa dasar yang kuat cuma tiba-tiba saja datang menghampiri nalar saya. Anggaplah kalimat pembuka itu disclaimer.Â
Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) yang Selasa (17/09/19) kemarin sudah disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia yang hanya dihadiri oleh 102 orang anggotanya, di tengah riuh rendah pro dan kontra yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Seperti diketahui, terdapat 7 poin revisi RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sudah disetuji oleh DPRRI dan Pemerintah, ialah.Â
Pertama, kedudukan KPK Â masuk ke dalam rumpun eksekutif kendati dalam kewenangan dan tugasnya memiliki independensi.
Kedua, tentang pembentukan dewan pengawas yang akan diatur kemudian.
Ketiga, wewenang penyadapan dapat dilakukan atas dasar ijin dari dewan pengawas.
Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan Perkara (SP3) tindak pidana korupsi oleh KPK
Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi.
Keenam, mengenai mekanisme penggeledahan dan penyitaan.
Ketujuh, sistem kepegawaian KPK, pegawai KPK akan diangkat menjadi Aparat Sipil Negara (ASN)
RUU yang telah menjadi Undang-Undang tersebut dipastikan akan digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh masyarakat sipil yang kontra terhadap  Revisi UU KPK ini.