Seru sekali ketika saya memperhatikan keriuhan yang terjadi di ruang publik akhir-akhir ini. Media mainstream terlihat seperti terbawa trend-trend isu media sosial, kendati sesekali mereka menciptakan trend juga, namun yang jelas keduanya bersimbiosis mutualisma.
Keriuhan mutakhir, adalah Revisi RUU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Â atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diamini Presiden (pemerintah).Â
Jika kita perhatikan dinamika isu-isu di media sosial khususnya di platform Twitter, pola isu yang digiring oleh ketiga belah pihak terlihat jelas, kelompok Pro dan  kelompok kontra
Kelompok kontra, dengan tegas menyatakan apapun alasannya revisi itu haram, dan poin-poin revisi tersebut dianggap berpotensi melemahkan KPK. Mereka kecewa sekali dengan sikap Jokowi, tadinya berharap banyak Presiden akan menolak seluruh Revisi ajuan DPR.
Terhadap DPR sepertinya mereka sudah hopeless, serangan memang dilakukan, namun tak mendapat tangkisan dari manapun kecuali dari DPR sendiri. Yang paling aktif menangkis dan menyerang balik, anggota dewan dari fraksi PDIP Masinton Pasaribu dan tentu saja Wakil Ketua DPR-RI Fahri Hamzah, keduanya paling getol menanggapi isu ini.
Kelompok ini dimotori oleh para penggiat korupsi, pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan berbagai elemen masyarakat yang bersimpati kepada KPK, karena menurut mereka, KPK adalah satu-satunya lembaga negara yang bisa diharapkan dalam menjaga marwah pemberantasan korupsi.Â
Disini terlihat jelas kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum lain, yang juga diberi kewenangan untuk memberantas korupsi seperti Kepolisian dan Kejaksaan minimal sekali. Makanya harapan yang tinggi mereka gantungkan kepada KPK.
Polemik ini semakin ramai setelah DPR memberikan umpan lambung kepada Jokowi dan alih-alih menolak umpan tersebut, Jokowi malah menyambut umpan itu dengan menerbitkan Surat Presiden 6 hari setelah draft revisi RUU ini diberikan, padahal menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Presiden memiliki waktu 60 hari untuk berpikir sebelum mengeluarkan surpres.Â
Sontak berbagai kecaman dan hujatan langsung ditujukan kepada Jokowi. Bahkan 3 orang pimpinan KPK, Agus Rahardjo, La Ode Syarif, serta Saut Situmorang menyerahkan mandatnya sebagai pimpinan KPK kepada Presiden sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap Jokowi.Â
Tambah kencenglah perdebatan di dunia maya terkait revisi ini, namun pola dan peserta debat ini langsung bergeser begitu Jokowi masuk gelanggang menjadi salah satu yang diperdebatkan.
Para pendukung garis keras Jokowi mulai terusik, tadinya saya lihat mereka posisinya lebih cenderung berada ditengah-tengah malah sedikit cenderung kontra terhadap revisi. Demi melihat Jokowi diserang mereka pun berbalik menyerang KPK, dan posisinya sudah dapat dipastikan menjadi Pro Revisi UU KPK. Dan ada kelompok 45 persen pemilih 02 saat pilpres lalu, ikut nyemplung dipusaran perdebatan, ramai tak terhingga saling bersahutan hingga aroma pilpres sangat menyengat.