Mohon tunggu...
Fery. W
Fery. W Mohon Tunggu... Administrasi - Berharap memberi manfaat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penikmat Aksara, Musik dan Tontonan. Politik, Ekonomi dan Budaya Emailnya Ferywidiamoko24@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi Ternyata Penuh Beban, Bukan Tanpa Beban

13 September 2019   11:08 Diperbarui: 13 September 2019   12:09 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Posisi pengusaha dan investor masih wait and see sekarang ini, meskipun Jokowi sudah berkali-kali meyakinkan bahwa semua under control.Tapi mereka butuh bukti dan kepastian dalam menyusun strategi bisnisnya.

Entah apa alasan sebenarnya Jokowi belum menentukan dan menggumumkan ke publik, para personalia kabinetnya tersebut, jangan-jangan sinyalemen yang beredar dimasyarakat bahwa Jokowi berada dalam tekanan Partai Politik pendukung dan Partai politik loncat pagar, benar adanya.

Apalagi sekarang, dengan adanya masalah tentang Revisi Undang-Undang KPK yang berpotensi melemahkan fungsi dan tugas serta kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi. 

Revisi RUU tersebut dimotori oleh partai-partai pendukung Jokowi, seperti PDIP, PKB, Partai NasDem, PPP, dan Partai Golkar. Kentara sekali, bahwa beban yang katanya tak ada itu nyata adanya.

Pada Kamis (5/9/19), Rapat Paripurna DPR menyetujui revisi UU KPK menjadi usul dewan setelah sebelumnya diam-diam dibahas di Badan legislasi DPR. Padahal, revisi UU itu tak masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Kemudian DPR  mengirimkan RUU tersebut ke presiden. 

Kendati sempat berujar "Yang jelas saya kira kita harapkan DPR mempunyai semangat yang sama untuk memperkuat KPK," kata Jokowi di Solo, Jumat (6/9/19)seperti yang dikutip dari Antara.

Saya pikir Presiden akan menolak RUU tersebut sesuai aspirasi berbagai lapisan masyarakat. Namun kenyataannya,  hanya dalam tempo 6 hari, Jokowi menandatangi Surat Presiden (Surpres) tanda mengamini Revisi RUU KPK tersebut. 

Padahal Jokowi sebenarnya memiliki waktu 60 hari, waktu yang cukup agar bisa menimbang, menyerap aspirasi masyarakat, dan memutuskan apakah revisi RUU KPK itu perlu atau tidak untuk dilakukan.

Menurut Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM Zainal Arifin Mochtar, Surpres Revisi RUU KPK ini penuh kejanggalan. Karena menurut Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Presiden memiliki waktu 60 hari untuk berpikir sebelum mengeluarkan Surpres. 

"Apalagi beberapa substansi [RUU KPK] bisa kita perdebatkan, kenapa presiden harus buru-buru tanda tangani surpres?" Ujarnya Rabu, (11/09/19) lalu, seperti yang dilansir CNNIndonesia.com.

Masalah yang harus dihadapi KPK tidak hanya masalah Revisi RUU KPK, namun masalah calon pimpinan KPK periode 2019-2023 yang dianggap tidak kredibel oleh sebagian besar penggiat anti korupsi. Panitia seleksi (Pansel) KPK bentukan Presiden dianggap tidak mampu menemukan capim-capim yang kredibel berdasarkan rekam jejak dan prestasi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun