Hari-hari belakangan ini 2 isu rasial ramai di bahas di media mainstrean, apalagi di media sosial. Timeline hampir semua platform di penuhi oleh 2 kasus itu. Pertama kasus salib Ustaz Abdul Somad dan yang kedua yang masih hangat isu rasial masyarakat Papua yang terjadi di Malang dan Surabaya yang berdampak kerusuhan di Manokwari, Sorong, dan Jayapura.
Rasisme  adalah gagasan yang diciptakan manusia untuk membeda-bedakan orang berdasar, suku, agama, warna kulit, hingga daerah tinggal. Biasanya rasisme lekat dengan superioritas golongan tertentu yang kebetulan menjadi mayoritas.
Sebenarnya tanpa kita sadari rasisme seringkali terjadi disekitar kita. Indonesia yang ber-suku banyak memang sangat rentan dengan isu ini. Mungkin pertanyaan sehari-hari apabila kita ketemu orang yang baru kita kenal, akan menanyakan asalnya darimana? Sunda yah? Batak yah? Jawa yah? Itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Padahal itu merupakan salah satu cikal bakal dari proses rasisme.
Stereotip tertentu pun hampir selalu disematkan, oh batak, orangnya keras dan kasar, padahal tak semua juga orang batak seperti itu. Oh Sunda yah, wah pesolek apalagi perempuannya Gold Digger, padahal ngga semua juga orang sunda seperti itu.Â
Oh Minang yah, ah pelit walau usahanya emang jago. Males akh ama orang  Jawa sih iya-iya di depan padahal di belakangnya nyebelin. Itu terjadi setiap hari. Stereotip terhadap suku tertentu adalah salah satu bentuk dari rasisme.
Apalagi kalau kita bicara lebih jauh mengenai perjodohan. Rasisme kerap terjadi  di ranah ini. Saya dulu pernah mengalami hal ini, saya pernah dekat dengan seorang perempuan Cina, dan kita saling suka, namun karena saya Jawa dan dia Cina pernikahan hampir mustahil terjadi. Orangtua kami tidak membolehkan kami nikah hanya karena ras kita berbeda, dan agama kami pun berbeda pula, maka lengkaplah sudah ketidak setujuan kedua orangtua kami.
Padahal ketika saya atau siapa pun dilahirkan tidak pernah bisa reservasi untuk dilahirkan dari orang tua yang memiliki ras tertentu. Mungkin pola didik yang sudah mengakar lama menjadikan pola pikir kita seperti itu.Â
Harus ada perubahan yang ekstrem apabila kita mau mengikis habis rasisme, tapi jujur saja saya sangsi rasisme itu akan hilang, rasisme akan tetap ada sepanjang manusia ada.
Bahkan negara pun secara tidak disadari sudah melanggengkan isu rasisme. Contohnya UU Nomor 1 tahun 1974 yang tidak akan memperbolehkan pasangan berbeda agama menikah. Apakah itu bukan rasisme?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H