Mohon tunggu...
Fery. W
Fery. W Mohon Tunggu... Administrasi - Berharap memberi manfaat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penikmat Aksara, Musik dan Tontonan. Politik, Ekonomi dan Budaya Emailnya Ferywidiamoko24@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fanatisme, Akar Polarisasi

21 Juni 2019   08:47 Diperbarui: 21 Juni 2019   09:27 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fanatisme politik tumbuh subur selama kurun waktu 5 tahun belakangan ini. Berbagai peristiwa politik sepanjang waktu tersebut menjadi lahan yang luas dipupuk dengan politik identitas membuat akar fanatisme mencengkram dan menyebar dengan kuat dan cepat.

Fanatisme adalah adalah sebuah keyakinan atau suatu pandangan terhadap sesuatu baik positif maupun negatif. Pandangan tersebut tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan,namun dianut dan dipercayai begitu mendalam sehingga susah diubah pandangannya.

Fanatisme biasanya tidak rasional, oleh karenanya argumen rasional seperti apapun akan sulit dipakai untuk meluruskan pikirannya. Secara psikologis, seseorang yang  fanatik biasanya tidak mampu mengenali apapun yang berada diluar dirinya atau peer grupnya. Tidak memahami apapun selain dirinya dan kelompoknya sendiri. Falsafah dan teori apapun sepanjang itu tidak berkesesuaian dengan kepentingan dirinya dan kelompoknya menjadi salah.

Fanatisme tidak memiliki batas apapun, usia, pendidikan, gender, status sosial, orang awam ataupun seorang intelektual.  Masyarakat beragama apapun, bahkan penganut atheis sekalipun.

Sebagian pakar psikologi meyakini fanatisme itu mumcul sendiri dari dalam diri masing-masing. Sebagai konsekuensi dari heteroginitas. Karena sejatinya fanatisme tidak akan pernah muncul tanpa interaksi antar kelompok sosial yang berbeda. Fanatisme persepsi ini merupakan manifestasi dari solidaritas bagi kawan sekubu, dan tidak menyukai pihak berbeda kubu. Ketidaksukaannya pun tidak bisa dijelaskan secara rasional. Pokoknya suka, pokoknya benci.

Sikap fanatik itu bias dimana individu yang sudah terasukinya menjadi kehilangan nalar jernih dan logis dalam melihat sebuah permasalahan. Hal ini terjadi karena sistem persepsi yang dimilikinya rusak (distortion of cognition).

Nah apa yang terjadi belakangan ini di Indonesia. Sepanjang proses pilpres 2019 berlangsung merupakan salah satu bentuk dari fanatisme. Gap antara pendukung paslon 01 Jokowi-Maaruf Amin dengan pendukung paslon 02 Prabowo-Sandi begitu dalam, menjadi polarisasi yang sangat tajam

Dalam kasus pilpres 2019 ini prosesnya selain fanatisme bawaan diri, faktor rekayasa persepsi pun terjadi. Para elite kedua belah pihak memberi amunisi dan tools bagi para pendukungnya untuk terus menggali jurang perbedaan menjadi lebih dalam.

Selain itu memang pada dasarnya demokrasi memberi ruang bagi sikap fanatik. Malah di satu sisi  fanatisme ini menjadi semacam pemanis bagi sebuah proses demokrasi, ga ada fanatisme ya ga rame. 

Namun yang bikin was-was, populisme berbasis agama terus mengganas. Para elite petinggi partai masih asyik memainkan identitas, mengipas para pemdukung supaya tetap panas. Karena itu, untuk menjadi pendukung yang kritis, setiap orang harus introspeksi memeriksa fanatisme dalam diri. Hanya dengan cara itu kita bisa menyelamatkan demokrasi kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun