Mohon tunggu...
Fery. W
Fery. W Mohon Tunggu... Administrasi - Berharap memberi manfaat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penikmat Aksara, Musik dan Tontonan. Politik, Ekonomi dan Budaya Emailnya Ferywidiamoko24@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Rekonsiliasi Bagai Menunggu Godot

29 Mei 2019   11:45 Diperbarui: 29 Mei 2019   11:50 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.gramedia.com 

Menunggu Godot (Waiting for Godot) adalah naskah klasik karya sastrawan kondang asal Irlandia Samuel Beckket (1906-1989). Naskah ini menceritakan dua sahabat, Estragon dan Vladimir keduanya sepakat untuk menunggu Godot, padahal tampang Godot pun mereka tidak pernah tahu. Apakah bentuknya seperti manusia, malaikat, kucing, atau harimau mereka berdua tidak pernah tahu juga. Godot sesuatu yang tidak jelas, absurd. Tetapi mereka sepakat untuk tetap menanti entah sampai kapan.

Dalam penantiannya kedua sibuk berdebat tentang segalanya, terkadang yang diperdebatkan pun sesuatu yang mereka sendiri tidak pernah pahami. Berdebat tentang apa yang harus dilakukan, ironisnya mereka sendiri ya cuma sibuk berdebat saja, tanpa pernah melakukan apapun. Sampai saat  dua sahabat ini bersepakat untuk bunuh diri, saking frustasinya karena Godot yang mereka tunggu tidak juga datang. Namun kesepakatan bunuh diri yang sudah firm akhirnya batal juga karena mereka kembali berdebat tentang siapa yang harus melakukan bunuh diri itu duluan. Begitu terus, sibuk berdebat tanpa melakukan apapun. 

Waktu terus berjalan, Godot yang mereka tunggu pun tak kunjung datang. Seiring waktu, wajah dua sahabat ini menjadi keriput, rambutnya mulai memutih, namun sang Godot yang ditunggu tidak pernah menampakan batang hidungnya. dan di akhir cerita, ajal menjemputnya, Godot tak kunjung tiba. Alhasil menunggu Godot adalah sebuah ketidakpastian, sia-sia belaka karena sang Godot itu tidak akan pernah datang.

Makanya lahirlah istilah "menunggu Godot", seperti sekarang kita berharap bahwa rekonsiliasi sosial segera mewujud setelah lebih dari 5 tahun terpolarisasi akibat beda pilihan calon presiden. Ya hanya karena beda pilihan, pertemanan menjadi permusuhan, bersaudara menjadi tidak akur, bahkan bersama teman sekasur pun tidak saling tegur, gara-gara beda iman politik. Haruskah kondisi seperti ini terus terjadi.Seolah-olah apabila presiden pilihan kita menang seketika kita akan hidup bahagia, yang miskin seketika kaya raya, yang sakit tiba-tiba sembuh. 

Seperti Vladimir dan Estrogen, kita sibuk berdebat siapa capres yang paling mumpuni, paling layak dipilih. Bila yang diperdebatkan ekonomi pendukung keduanya pun berdebat ekonomi, serasa menjadi ekonom handal, yang memahami betul ekonomi sebuah negara. Jika yang diperdebatkan masalah pertahanan, bahkan Jendral Mc Arthur sang Pembebas Normandie pun tidak ada apa-apanya. Pokoknya Pilihannya dan dirinya lah yang paling oke, yang lain sih tidak akan di reken.

Pilihan sudah dijatuhkan, hasil resmi pemilu 2019 sudah didapatkan, walaupun masih harus bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) karena ada pihak yang tidak sepakat  hasil pemilu yang disebut oleh penggugat sebagai hasil kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif, walaupun hal itu tidak jelas benar dasarny. Dalam fase ini, seharusnya di level terbawah "grass roots", bentuk rekonsiliasi sudah  terlihat walau cuma selintas saja. Tapi apa yang terjadi sekarang, boro-boro terlihat, tercium baunya pun tidak. 

Hasil Resmi Pemilu malah memicu perbedaan dua pihak itu menjadi semakin tajam, saking tajamnya terjadilah peristiwa kerusuhan tanggal 21-22 Mei 2019. Terlepas dari tunggang menunggangi, tapi sumbernya karena polarisasi yang sudah "diciptakan" elite-elite agar jagoannya terpilih jadi Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Politik partisan memberi sumbangan terbesar dalam kondisi ini. Narasi politik dikontruksi sedemikian rupa dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus oleh para elite sehingga mempengaruhi alam bawah sadar pendukungnya, yang berujung pada fanatisme.  Fanatisme adalah suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, pandangan yang tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah.

Menurut Report Freedomhouse. org Lembaga internasional untuk urusan demokrasi tahun 2018 Indonesia termasuk kategori negara Partly free, negara separuh bebas, biasanya fanatisme simpatisan politik memang sangat rentan dimanfaatkan sebagai martir para elite. Mereka mudah diprovokasi lewat narasi-narasi kecurangan untuk mengkonstruksi pikiran massa sehingga mendukung mati-matian pilihan mereka melalui berbagai aksi bahkan kerusuhan sekalipun mereka akan jabanin.

freedomhouse.org
freedomhouse.org

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun