Pemilihan umum adalah sesuatu yang sangat baik dalam kerangka membangun sebuah negara demokrasi, tetapi bisa tak banyak artinya bagi rakyat jika mereka sulit memberikan suara atau jika pada akhirnya suara mereka tidak membuat perbedaan dalam cara negara diperintah. "Mudahnya memberi suara" ditentukan oleh faktor-faktor seperti bagaimana rumitnya surat suara, seberapa mudahnya pemilih mencapai tempat pemungutan suara, mutakhir tidaknya daftar pemilih, dan sejauh mana pemilih yakin bahwa suara yang diberikannya bersifat Langsung, Bebas dan Rahasia, serta proses penghitungan yang akuntabel.
Pemilu serentak ialah satu model dari beragam model electoral engineering, yaitu mekanisasi pemilu yang mempunyai konsekuensi pada pemerintahan, representasi, dan sistem politik yang terbentuk setelah pemilu. Singkat cerita, penyerentakan pemilu bukan hanya soal dimensi waktu: hari, tanggal, dan jam yang sama. Pemilu serentak adalah soal cara memilih, dengan efek makanis krusial pada pemerintahan dan sistem politik yang dihasilkan. Ekspektasi hasilnya: perolehan suara capres pemenang diikuti oleh perolehan partai pengusung yang juga terbesar sehingga terbentuk pemerintahan yang didukung partai mayoritas di parlemen, dan berakhir pada tujuan besar: efektivitas sistem presidensial.
Tetapi pada kenyataannya pemilu serentak di Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019 lalu, dikritik sejumlah pihak karena keserentakannya itu tidak diantisipasi dengan baik, akibat yang kurang diperhitungkan adalah beban kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dan tenggelamnya informasi tentang kandidat calon anggota legislatif oleh hingar bingarnya pemilihan capres dan cawapres, serta di beberapa tempat membuat hak memilih warga negara Indonesia di luar negeri hilang. Akibat beban kerja yang sangat berat anggota KPPS banyak dari mereka yang sakit dan bahkan meninggal dunia, sejauh ini menurut komisioner KPU Viryan Aziz , yang meninggal berjumlah 119 orang, 548 sakit tersebar di 25 provinsi diseluruh Indonesia.
Pemilu Serentak 2019 menghadirkan lima pemilihan sekaligus mulai dari Presiden-Wakil Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota, dan DPD RI. Pelaksanaannya diwarnai sejumlah persoalan. selain persoalan beban kerja yang berlebih bagi anggota KPPS yang harus bekerja dengan penuh konsentrasi selama lebih dari 24 terus menerus, ada hal lain yaitu banyak pemilh kebingungan ketika harus memilih calon anggota legislatif lantaran informasinya tenggelam oleh pemilihan capres dan cawapres. Di luar negeri, pemilih kehilangan haknya karena durasi pencoblosan yang terbatas.Â
Berbagai masalah dalam Pemilu serentak 2019 ini diakui pula oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, Dirjen  Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo. " memang ada kekurangan dalam pelaksanaan pemilu serentak 2019 ini baik di dalam maupun luar negeri dan pemerintah akan segera melakukan evaluasi terkait hal tersebut sehingga di pemilu tahun 2024 hal seperti ini tidak terjadi lagi". Pemerintah akan mengkaji ulang mengenai keserentakan pemilu itu baiknya seperti apa, pemerintah bersama DPR akan melakukan evaluasi bersama dan memutuskan yang terbaik untuk pemilu kedepan agar kejadian pada Pemilu 2019 tidak terjadi lagi.
Opsi Keserentakan Pemilu
Keserentakan Pemilu 2019 didasari oleh putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang kemudian diatur oleh Undang - Undang Pemilu  No 7 Tahun 2017. Ide pelaksanaan Pemilu 2019 secara serentak  yang berdasarkan putusan MK itu, berawal saat akademisi Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak menggugat Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) ke Mahkamah Konstitusi (MK), 2013 silam.Â
Dasar alasan mereka sederhana, yaitu penyelenggaraan pemilu secara serentak lebih efisien dari segi waktu maupun biaya. walaupun pada kenyataannya  pelaksanaan pemilu secara serentak tidak mempengaruhi efisiensi anggaran. Pemilu serentak justru menghabiskan biaya lebih besar. Anggaran pemilu serentak tahun ini sebesar 24,8 triliun, kenyataannya lebih besar dari pemilu dan Pilpres 2014 yang menghabiskan 24,1 triliun.
Berbagai permasalahan pun timbul  akibat Pemilu Serentak 2019 ini, akhirnya banyak pihak mengusulkan untuk mengubah keserentakan pemilu tersebut, dan itu sangat dimungkinkan dengan merevisi UU No 7 Tentang Pemilu 2017. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri akan mengusulkan dua opsi keserentakan yakni menjadi serentak nasional dan serentak daerah, atau serentak eksekutif dan serentak legislatif.Â
Pemilu Serentak Nasional, dilakukan untuk memilih pejabat tingkat nasional, presiden-wakil presiden, DPR RI dan DPD RI. Sementara Pemilu Serentak Daerah adalah untuk Pilkada Gubernur dan Bupati/Walikota serta DPRD Provinsi dan kabupaten/kota. Dengan kerangka waktunya adalah Pemilu Nasional 5 tahunan, misalnya 2019 berikutnya 2024. Sedangkan Pemilu Daerah 5 tahunan, diselenggarakan di tengah 5 tahunan Pemilu Nasional, misalnya Pemilu Nasional 2019, dalam 2,5 tahun berikutnya atau tahun 2022 Pemilu Daerah.
Pemilu Serentak Eksekutif dilakukan untuk memilih Capres-Cawapres, Gubernur - wakil gubernur Daerah Tingkat I, Walikota/Bupati - wakil walikota/Bupati  Daerah Tingkat II. Sedangkan Pemilu Serentak Legislatif dilakukan untuk memilih calon legislatif DPR-RI, DPD-RI, DPRD Tingkat I, DPRD Tingkat II. Seperti halnya serentak pusat dan serentak daerah  ada pemisahan kerangka waktu 2,5 tahun dalam pelaksanaan pemilu tersebut. kedua opsi ini diharapkan meringankan manajemen penyelenggaraan pemilu, beban penyelenggara pemilu lebih proporsional dan tidak terjadi penumpukan beban yang berlebih seperti yang terjadi di pemilu serentak 2019 ini.