ekonomi yang cukup mengkhawatirkan.Â
Tahun akan segera berganti, lembaran baru mulai membentang. Namun, bayang ketidakpastian justru semakin nyata terlihat. Optimisme yang seharusnya mengiringi pergantian tahun, harus terganjal realitaBerbagai kebijakan ekonomi yang direncanakan akan diterapkan di tahun 2025, berpotensi menjadi "kado pahit" bagi masyarakat Indonesia.
Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12 Persen
Realita pertama yang harus dihadapi rakyat Indonesia, begitu menginjak awal tahun 2025 adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen.Â
Kepastian kenaikan PPN ini secara tegas dinyatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen akan tetap dilaksanakan mulai 1 Januari 2025. Jadi, begitu lonceng pergantian tahun berbunyi, saat itu pula masyarakat Indonesia akan "menikmati" tarif PPN baru.
"Jadi kami di sini sudah dibahas dengan Bapak Ibu sekalian (Komisi XI), sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan," ujarnya saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, seperti dilansir Kompas.com, Rabu (12/11/2024).
Penetapan tarif baru PPN tersebut merupakan amanat Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap, dari 10 persen menjadi 11 persen pada tahun 2022 dan kemudian menjadi 12 persen di awal tahun 2025.
Memang, seperti diatur dalam UU HPP dan aturan pelaksananya seperti PMK nomor 116/PMK.010/2017, tidak semua barang dan transaksi terkena kenaikan tarif PPN. Di antaranya, bahan-bahan kebutuhan pokok, mulai dari beras, kedelai, garam konsumsi, gula, daging, telur, susu, sayuran, buah-buahan, hingga bumbu-bumbuan.
Kemudian, dalam pasal lain di UU HPP juga disebutkan bahwa transaksi jasa transportasi, pendidikan, dan kesehatan tidak akan terkena kebijakan kenaikan tarif PPN. Untuk lebih rincinya, bisa dilihat dalam Pasal 4A dan 16B UU HPP.
Namun demikian, sejumlah pengamat dan pelaku ekonomi tetap menilai kenaikan tarif PPN tersebut, pada praktiknya, akan membebani dan menekan ekonomi masyarakat Indonesia yang sedang dalam tren melemah. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dalam pernyataannya menyebutkan bahwa kenaikan PPN berisiko menekan daya beli masyarakat yang memang sudah lemah menjadi lebih loyo lagi.
"Artinya, kalau pelemahan daya beli masyarakat ini terus dibebani oleh kebijakan fiskal yang kontraproduktif," ujarnya dalam catatan Apindo, seperti dilansir CNBCIndonesia.
Senada dengan APINDO, lembaga think tank ekonomi INDEF menyampaikan kenaikan tarif PPN akan menekan daya beli hingga konsumsi kelas menengah.