Olimpiade Paris 2024 akan segera digelar.
Di bawah langit romantis Paris, di mana Menara Eiffel menjulang megah dan Sungai Seine mengalir tenang,Perkampungan atlet yang terletak di tepi Sungai Seine, mulai ramai dipenuhi oleh atlet dari berbagai negara dan siap menampung  14.500 orang termasuk 9.000 atlet, pada puncak okupansinya.
Tentu saja para atlet dari berbagai negara dengan budaya yang berbeda akan saling bertemu dan bercengkerama, duduk berhadapan di ruang makan dan ruang rekreasi, seraya berbagi cerita.
Ajang olahraga paling akbar sejagat ini menjadi semacam melting pot beragam budaya, tempat bagi individu-individu dari beragam keyakinan dan aneka warna kulit, bertemu setiap empat tahun.
Namun, dibalik meleburnya budaya global dan gemerlapnya pesta olahraga, tersembunyi sebuah isu yang mengusik hati nurani: larangan mengenakan jilbab bagi atlet perempuan Muslim tuan rumah Perancis menjadi sebuah ironi di tengah hajatan olahraga yang dikenal akan pluralitas dan keragaman ras serta budayanya.
Pemerintah Perancis melalui Menteri Olahraga-nya Amelie Oudea Castera seperti yang dikutip dari Kantor Berita Reuters merilis pernyataan pelarangan penggunaan jilbab bagi atlet muslim perempuan tuan rumah, selama Olimpiade Paris 2024 dihelat, mulai 26 Juli 2024, mendatang.
Menurutnya, pelarangan mengenakan jilbab bagi atlet mereka bertujuan untuk menghormati prinsip sekularisme yang Pemerintah Perancis anut.
Amelie mengatakan, pihak Pemerintah menentang simbol-simbol keagamaan dikenakan oleh atlet mereka selama Olimpiade Paris berlangsung, dengan alasan memastikan netralitas mutlak dalam layanan publik.
Sekularisme Prancis, atau laicite, merupakan konsep yang memisahkan agama dari urusan publik, termasuk dalam ranah pemerintahan, pendidikan, dan bahkan olahraga.
Mengutip situs Le Taurrilion, Laicite berakar dari sejarah panjang Prancis yang diwarnai konflik agama. Prinsip ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang netral secara agama, di mana setiap individu memiliki kebebasan beragama atau tidak beragama, namun agama tidak boleh mempengaruhi kebijakan publik atau kehidupan bersama.
Dalam praktiknya, laicite diimplementasikan melalui berbagai undang-undang dan regulasi yang membatasi ekspresi keagamaan di ruang publik. Salah satu contohnya adalah Undang-Undang 2004 yang melarang penggunaan simbol-simbol keagamaan yang mencolok di sekolah-sekolah negeri.