Dari sini terlihat jelas pola, alih-alih berhenti atau mengurangi konsumsi rokok para ahli hisap ini lebih memilih mengakalinya.
Namun, apa mau dikata, begitulah kenyataannya. Rokok dan hasil olahan tembakau lainnya masih merupakan produk legal yang industri dan distribusinya di lindungi undang-undang, di mana pun di dunia ini.
Jadi untuk menghilangkan keberadaannya sama sekali tak akan mungkin terjadi. Terlalu tinggi cukainya pun, Â tak akan memiliki dampak baik bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Sebagaimana diketahui, cukai hasil tembakau atau CHT menjadi kontributor utama penerimaan kepabeanan dan cukai, di mana menyumbang Rp221,8 triliun terhadap total penerimaan di angka Rp286,2 triliun sepanjang 2023.
Belum lagi jika berbicara para pihak yang terlibat dalam rantai industri rokok, mulai dari petani tembakau, pelaku industri rokok hingga distibusinya yang jumlahnya di Indonesia mencapai lebih dari 5 juta jiwa.
Selain itu, semakin tinggi tarif cukai di kenakan, bakal semakin besar pula jumlah rokok-rokok ilegal tanpa cukai. Rokok itu di sebagian kawasan Indonesia sudah merupakan produk rumahan, jadi tak mudah untuk mengawasi peredarannya.
Oleh sebab itu lah, Pemerintah lebih memilih kata mengendalikan dengan cara men-cukai-i berdasarkan perhitungan keseimbangan antara faktor kesehatan dan faktor ekonomi, sambil berharap pada akhirnya para "ahli hisap" itu sadar bahwa rokok itu tidak baik untuk kesehatan dan berniat untuk menghentikan kebiasaannya tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H