cukai rokok dan hasil olahan tembakau lainnya sebesar  rata-rata 10 persen, seperti halnya dilakukan pada tahun 2023.
Pemerintah pada tahun 2024 kembali menaikan tarifDi mana, golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) I dan II, naik 11,5-11,75 persen, Sigaret Putih Mesin (SPM) I dan II naik sekitar 11 persen, dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) rata-rata naik dikisaran 5 persen.
Aturan kenaikan cukai tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 192 /PMK.010/2021 Tahun 2021 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun Atau Klobot, Dan Tembakau Iris.Â
Kenaikan tarif cukai rokok, yang berimbas langsung menjadi tingginya harga jual rokok di tingkat konsumen, tadinya diharapkan Pemerintah dapat mengendalikan konsumsi rokok masyarakat Indonesia yang sudah dianggap mengkhawatirkan.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun yang merokok mencapai 28,6 persen pada tahun 2023 atau sekitar 78 juta jiwa. Dengan rata-rata pengeluaran per kapita untuk rokok dan olahan tembakau lainnya sebesar Rp.91.003, naik 6,3 persen dibandingkan tahun 2022 yang sebesar Rp.85.630.
Jauh lebih besar dari rata-rata pengeluaran penduduk Indonesia untuk membeli telur dan susu yang hanya Rp.33.310 saja.
Pengendalian konsumsi rokok ini, dalam praktiknya diharapkan akan berbentuk penghentian kebiasaan merokok, atau paling tidak mengurangi jumlah konsumsi rokok yang dihisapnya.
Sayangnya, ternyata tujuan ini tak sepenuhnya terjadi, para "ahli hisap" lebih memilih mengakalinya, bukan mengurangi apalagi menghentikan konsumsi rokok, perokok dengan lincahnya melakukan shifting dari jenis dan merk rokok berharga mahal, ke jenis dan merk rokok berharga lebih murah.
Fakta ini, tercermin dalam laporan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati. Produksi rokok golongan I, yang dipasaran dikenal dengan merk Marboro, Sampoerna Evolution, Dunhill, anjlok hingga 14 persen secara year on year (YoY).
Namun, dalam saat bersamaan produksi rokok Golongan II dan III yang harga jualnya di tingkat konsumen lebih rendah, justru meningkat.
Produksi rokok golongan II naik sebesar 11,6 persen, yang naik signifikan adalah industri rokok kecil yang masuk dalam Golongan III, angka produksinya naik 28,2 persen.