Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ganjar-Mahfud, Janjikan Cuti Melahirkan 6 Bulan, Bermanfaatkah bagi Perempuan?

24 November 2023   11:20 Diperbarui: 24 November 2023   12:53 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 kian mendekat, musim kampanye resmi akan segera bergulir mulai 28 November 2023, pekan depan.

Namun untuk soal penyampaian gagasan, semua pasangan capres,  sudah berulang kali menyampaikannya,  berbagai program kerja dan janji-janji manis  telah banyak mereka umbar.

Itu lah kampanye politik, tak ada yang salah juga, bahkan bagus bagi demokrasi dan gagasan-gagasan itu bisa menjadi sebuah diskursus sehat di tengah masyarakat.

Salah satunya, yang menarik adalah janji capres benomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD terkait cuti hamil bagi pekerja Perempuan

Dalam dialog terbuka di Univesitas Muhammadiyah Jakarta, duet ini menjanjikan, jika memerintah nanti mereka akan memastikan cuti melahirkan 6 bulan bagi perempuan.

Bahkan untuk memastikan aturan cuti melahirkan 6 bulan bagi perempuan itu bisa dipatuhi para pengusaha, pemerintahnya kelak akan membuat super Apps untuk menampung berbagai keluhan masyarakt secara langsung, termasuk masalah cuti hamil tadi.

"Kalau cutinya nanti pengusahanya enggak boleh gimana? Ada Disnaker, dan Kemnakar, itu dilaporkan, Pak, kami takut mau lapor. Saya kasih super apps, kamu lapor," katanya, seperti dilansir Kumparan.com. Kamis (23/11/2023).

Sebenarnya, janji kampanye Ganjar tersebut, bukan barang baru. Cuti melahirkan 6 bulan sudah masuk dalam Rancangan Undang-Undang Kesejehateraan Ibu dan Anak(RUU-KIA) yang telah resmi menjadi RUU Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), pada Juni 2022 lalu.

Menurut berbagai sumber referensi yang saya dapatkan, hal mendasar dan menjadi badan perdebatan di antara para pemangku kepentingan adalah masalah perubahan pengaturan cuti melahirkan, semula 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan, seperti yang tertuang dalam Pasal 22 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagalerjaan.

Diubah menjadi, paling sedikit 6 bulan untuk cuti melahirkan, dengan ketentuan, 3 bulan pertama dibayar penuh dan 3 bulan kemudian dibayar 75 persen dari upah, seperti tertulis dalam Pasal 4 ayat (2) serta  Pasal 5 ayat (1), dan (2) RUU KIA.

Tujuan dari RUU KIA dan janji kampanye Ganjar-Mahfud terkait cuti melahirkan 6 bulan tersebut sangat luhur, antara lain dapat meningkatkan kesehatan ibu dan anak, menciptakan kualitas tumbuh kembang anak yang lebih prima, mengingat  anak-anak adalah masa depan Indonesia.

Namun, ditataran pelaksanaan hal tersebut sepertinya sangat sulit diimpementasikan, makanya  sudah lebih dari satu tahun, RUU KIA tak kunjung bisa dibawa ke rapat Paripurna DPR untuk disahkan.

Hal tersebut dapat terjadi, karena ada tarik menarik kepentingan di sana, terutama dengan para pengusaha atau pemberi kerja.

Jangankan cuti melahirkan 6 bulan, kemyataan di lapangan menunjukan bahwa pekerja perempuan masih banyak yang mengalami kesulitan saat mengajukan cuti melahirkan selama 3 bulan bahkan mereka ada yang sampai terkena pemutusan hubungan kerja(PHK).

Apabila pelaksanaan cuti melahirkan 6 bulan itu dipaksakan untuk dilakukan secara serta merta dan sekaligus, seperti bunyi RUU KIA  dan janji kampanye Ganjar-Mahfud, terlepas dari peningkatan perlindungan keluarga yang muncul, berpotensi menimbulkan diskriminasi baik langsung maupun tidak langung terhadap pekerja perempuan.

Para pemberi kerja menjadi segan memberikan pekerjaan kepada perempuan, pasar kerja menjadi kurang bersahabat bagi perempuan.

Jika di-hire sekalipun para pekerja perempuan akan diatur agar tidak hamil dalam jangka waktu tertentu.

Hal-hal tersebut bisa terjustifikasi lantaran pengusaha atau para pemberi kerja, nature-nya akan memilih pekerja yang produktif.

Bagaimana bisa disebut produktif jika pekerjanya bisa cuti selama satu semester. Belum lagi, tak jelas juga boleh berapa kali pekerja perempuan itu bisa cuti melahirkan.

Terbayangkan, kalau misalnya dalam 3 tahun, pekerja perempuan melahirkan 2 kali berarti setahun dirinya cuti untuk melahirkan.

Dari sisi kinerja pasti akan terganggu, touch dan knowledge terkait pekerjaannya setelah cuti selama 6 bulan akan terpengaruh.

Sementara gaji harus tetap dibayarkan meski

Padahal kita tahu juga, banyak juga perempuan pekerja tersebut menjadi tulang punggung keluarganya.

Atas dasar itu, saya berpikiran bahwa cuti melahirkan bagi pekerja perempuan selama 6 bulan seperti yang dijanjikan Ganjar-Mahfud dalam pelaksanaannya agak sulit untuk diimplementasikan.

Karena alih-alih membawa manfaat lebih bagi perempuan dan keluarganya  seperi tujuan awalnya, malah akan menimbulkan "kerugian" bagi mereka.

Menyeret kembali perempuan pada posisi untuk "bisa"didiskrimiasi, padahal belakangan posisi perempuan dalam pasar kerja sudah mulai menunjukan perbaikan.

Mungkin ada baiknya Ganjar-Mahfud , menghitung ulang janjinya tersebut, kecuali mereka nantinya mampu memastikan bahwa potensi-potensi seperti yang saya uraikan di atas tak akan terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun