Namun, ditataran pelaksanaan hal tersebut sepertinya sangat sulit diimpementasikan, makanya  sudah lebih dari satu tahun, RUU KIA tak kunjung bisa dibawa ke rapat Paripurna DPR untuk disahkan.
Hal tersebut dapat terjadi, karena ada tarik menarik kepentingan di sana, terutama dengan para pengusaha atau pemberi kerja.
Jangankan cuti melahirkan 6 bulan, kemyataan di lapangan menunjukan bahwa pekerja perempuan masih banyak yang mengalami kesulitan saat mengajukan cuti melahirkan selama 3 bulan bahkan mereka ada yang sampai terkena pemutusan hubungan kerja(PHK).
Apabila pelaksanaan cuti melahirkan 6 bulan itu dipaksakan untuk dilakukan secara serta merta dan sekaligus, seperti bunyi RUU KIA Â dan janji kampanye Ganjar-Mahfud, terlepas dari peningkatan perlindungan keluarga yang muncul, berpotensi menimbulkan diskriminasi baik langsung maupun tidak langung terhadap pekerja perempuan.
Para pemberi kerja menjadi segan memberikan pekerjaan kepada perempuan, pasar kerja menjadi kurang bersahabat bagi perempuan.
Jika di-hire sekalipun para pekerja perempuan akan diatur agar tidak hamil dalam jangka waktu tertentu.
Hal-hal tersebut bisa terjustifikasi lantaran pengusaha atau para pemberi kerja, nature-nya akan memilih pekerja yang produktif.
Bagaimana bisa disebut produktif jika pekerjanya bisa cuti selama satu semester. Belum lagi, tak jelas juga boleh berapa kali pekerja perempuan itu bisa cuti melahirkan.
Terbayangkan, kalau misalnya dalam 3 tahun, pekerja perempuan melahirkan 2 kali berarti setahun dirinya cuti untuk melahirkan.
Dari sisi kinerja pasti akan terganggu, touch dan knowledge terkait pekerjaannya setelah cuti selama 6 bulan akan terpengaruh.
Sementara gaji harus tetap dibayarkan meski