Mencermati politik elektoral hari-hari belakangan ini membuat saya muak, elite politik dan para pendengungnya lebih senang menggunakan mulut dan jempolnya untuk menghasut masyarakat alih-alih menyuarakan visi dan misi serta program kerja jagoannya.
Malangnya sebagian masyarakat kita, mulai masuk perangkap mereka. Masyarakat awam mulai sibuk bertengkar di dunia maya, seolah lupa bahwa kita ini satu bangsa dan satu negara.
Masing-masing kubu membangun narasi, jika tak memilih jagoannya otomatis menjadi orang jahat. Jika pilihannya bukan Ganjar-Mahfud maka otomatis orang itu tak pro-demokrasi, andai tak memilih Prabowo-Gibran artinya orang itu tak ingin pembangunan dilanjutkan dan mimpi menuju Indonesia Emas tinggal kenangan, atau apabila tak mendukung Anies-Muhaimin, orang itu tak berpihak pada perubahan padahal Indonesia ini dalam kacamata mereka butuh itu.
Manusia Indonesia dikotak-kotakan dalam bungkus prespektif yang mereka bangun hanya untuk kepentingan politik kekuasaan semata.
Cara berpolitik para politisi Indonesia saat ini lebih cenderung mengikuti konsep devide et impera atau politik adu domba, membelah untuk kemudian mengambil keuntungan dari keterbelahan itu.
Hasrat berkuasa yang begitu kuat, membutakan mata hati mereka, sehingga tak segan memanipulasi emosi masyarakat dengan dalih demi demokrasi dan kesejahteraan Rakyat.
Mendekati Hari H pencoblosan, bukan substansi program kerja dan visi misi para calon yang kerap kita dengar tapi lebih banyak berbicara urusan teknis kepemiluan, yang seharusnya sudah selesai jauh-jauh hari.
Mungkin, ke depan perlu ada aturan yang dibuat secara rigid bahwa urusan teknis kepemiliun seperti gugat menggugat di Mahkamah Konstitusi terkait aturan itu, harus selesai sebelum kick off time line pemilu dimulai, agar semua pihak termasuk masyarakat bisa mengkonsentrasikan dirinya terhadap program kerja calon presiden maupun partai-partai politik peserta Pemilu.
Selain itu, agar setiap perubahan aturan kepemiluan tidak ditunggangi oleh kepentingan politik pragmatis sesaat yang pada akhirnya, perdebatannya  menghabiskan energi kita semua.
Saat ini, ruang publik dibajak oleh urusan teknis kepemiluan, suara ini terdengar jauh lebih kencang dibandingkan suara sayup-sayup yang memaparkan urusan program kerja paslon capres.
Dalam situasi politik "tak jelas" seperti ini, harapannya publik bisa lebih cermat dan cerdas dalam menyikapinya, jangan mau diseret-seret  oleh para elit politik untuk ikut irama mereka.