film dokumenter memang tak seasyik menyaksikan film bergenre drama, kalah seru dibandingkan film eksyen, apalagi genre romantic-comedy.
MenontonNamun menonton Ice Cold: Murder, Coffe, and Jessica Wongso, film dokumenter yang menyajikan kembali getirnya "sinetron" hukum  "Kopi Sianida"yang  ditayangkan layanan video streaming Netflix, sedikit berbeda, seolah ada keasyikan tersendiri.
Mungkin karena saya dan hampir seluruh maayarakat Indonesia saat itu terlibat secara emosional dengan kisahnya.
Seperti biasa, film dokumenter bersifat naratif, dihiasi dengan wawancara para pihak yang terlibat dalam kisah yang mengharu biru seluruh masyarakat Indonesia di awal hingga pertengahan tahun 2016 tersebut.
Tadinya saya pikir dokumenter ini akan berbentuk film seri, tapi ternyata hanya sebuah film lepas berdurasi 86 menit saja.
Waktu yang kurang panjang sebenarnya, untuk memaparkan sebuah peristiwa hukum yang rumit seperti kasus Kopi Sianida ini. Makanya tak heran jika penyajian dokumentasinya tak terlalu mendalam.
Apalagi dalam teaser-nya, Netflix menyebutkan bahwa ada sesuatu yang baru dalam dokumenter ini, dan tak pernah diungkapkan sebelumnya.
Memang ada sih novelty-nya, sayangnya itu tak berbentuk audio visual hanya  narasi dari buku harian Jessica yang sedikit memaparkan potongan peristiwa tersebut dari sudut pandang dirinya.
Dugaan saya, hal tersebut terjadi bukan karena produser tak berminat untuk menggali lebih dalam, tetapi karena keterbatasan nara sumber yang bisa dan mau mengungkapkan rangkaian kasus ini secara lebih detil dan lengkap.
Dugaan ini berdasarkan pada fakta yang diungkapkan di film itu,  untuk mewawancarai Jessica saja terkesan dihalang-halangi, ada sih wawancara dengan Jessica  tapi waktunya sangat pendek, karena wawancaranya tersebut diberhentikan seketika oleh seseorang yang dalam dokumenter tersebut digambarkan tanpa sosok, hanya terdengar suaranya saja.
Contoh lain dari kurang lengkapnya narsum ini, terlihat jelas dari tak adanya satu pun pihak dari kepolisian yang saat itu menangani penyidikan dan penyelidikan kasus ini yang diwawancarai.
Kemudian, Hannie salah satu teman Jessica dan Mirna Salihin yang ada di tempat kejadian perkara (TKP), saat peristiwa pidana itu terjadi, juga tak ada wawancaranya. Begitu pun pihak penting lain yang ada di pusaran kasus itu, seperti suami Mirna Salihin.
Kendati demikian, ika menilik isi kontennya, dokumenter ini cukup fair. Kedua belah pihak, diberi kesempatan yang sama untuk menyampaikan prespektifnya masing-masing.
Dari pihak Mirna, ada ayahandanya, Edi Darmawan Salihin yang dengan gayanya sendiri menyampaikan secara load and clear bahwa Jessica lah pembunuh Mirna.
Lantas dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) yanag saat sidang menuntut Jessica, lewar argumen-argumennya mereka berlima memaparkan bahwa Jessica memang bersalah dan sangat pantas untuk dihukum.
Sedangkan dari pihak Jessica, dokumenter tersebut menampilkan sosok Otto Hasibuan dan tim pengacara Jessica, yang hingga kini  mereka meyakini bahwa Jessica Kumala Wongso bukanlah pelaku pembunuhan terhadap Mirna. Kemudian ada paman Jessica yang juga berprofesi sebagai pengacara.
Secara umum dokumenter itu dibagi menjadi dua bagian, bagian awal hingga tengah publik digiring untuk menunjukan Jessica guilty as charge, di bagian tengah sampai akhir setelah persidangan dimulai masyarakat dibawa pada pemikiran justru Jessica tidak bersalah.
Jika ditanya apakah film dokumenter tentang peristiwa "kopi sianida" ini membuat keyakinan saya bahwa Jessica tak bersalah berubah menjadi sebaliknya.
Tidak, saya justru tambah yakin bahwa Jessica Kumala Wongso bukanlah pembunuh  Wayan Mirna Salihin. Mungkin ada pihak lain yang berpendapat berbeda, ya silahkan saja.
Toh apapun pendapat kita, tak akan bisa lagi mengubah hukuman Jessica, 20 tahun penjara yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Sejatinya pengadilan itu diharapkan untuk memberikan keadilan yang seadil-adilnya bagi para pihak.
Tapi hukum tidak sama dengan keadilan, hukum hanyalah salah satu alat untuk menuju keadilan.Â
Jangan sampai seseorang yang bisa jadi tak bersalah harus menanggung hukuman, bukankah ada adagium hukum cukup terkenal " Dubio Pro Reo" yang dalam bahasa Indonesia ditafsirkan sebagai "lebih baik membebaskan seribu orang bersalah, daripada menghukum satu orang tak bersalah"
Pertanyaannya kemudian, apakah dengan keputusan hakim yang menyatakan bahwa Jessica bersalah di tengah keraguan seperti itu, ia layak disebut pembunuh?
Itu mungkin yang dipertanyakan Jessica seperti yang ia tulis dalam buku hariannya yang ditampilkan di ujung film dokumenter itu.
"When i meet someone new, i always wonder if they think i'm a killer. I honestly can't help but wonder whether they believe i killed Mirna or not"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H