Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Timnas U-23 Gagal Juara Piala AFF, Polemik STY Mundur Kembali Muncul

27 Agustus 2023   15:01 Diperbarui: 27 Agustus 2023   15:11 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesak rasanya  ketika menyaksikan kenyataan bahwa Timnas Indonesia tak berhasil menjuarai Piala AFF U-23, setelah kalah lewat adu tendangan pinalti oleh Timnas Vietnam 5-6, Sabtu (26/08/2023) tadi malam.

Bermain bagus dan militan sepanjang 120 menit, di 2x45 dan babak perpanjangan waktu, rupanya tak cukup bagi para pemain  asuhan Shin Tae Yong (STY) ini untuk membawa pulang Piala AFF U-23 yang kedua kalinya.

Itu lah menariknya sepakbola dengan segala sistem serta perangkat pertandingannya, ada faktor nasib dan keberuntungan juga di dalamnya, selain faktor teknis.

Meskipun tentu saja, ada pula standar kelazimannya,  tim yang bermain bagus, mampu mengontrol jalannya pertandingan dan dominan dalam penguasaan bola sehingga bisa mengkreasi lebih banyak peluang, biasanya merekalah yang memenangkan pertandingan.

But, at the end, pemenang dalam sebuah laga sepakbola ditentukan dari tim yang lebih banyak mencetak gol dan paling sedikit kebobolan, terlepas dari apapun caranya.

Manifestasi dari sebuah prestasi dalam sepakbola biasa diukur dalam bentuk trofi atau raihan gelar juara dari sebuah rangkaian pertandingan yang disebut turnamen atau kompetisi.

Misalnya klub sepakbola A, lebih  hebat dibandingkan klub B lantaran raihan gelar juara di berbagai turnamen major lebih banyak.

Pemain sepakbola C, dianggap lebih hebat dan lengkap setelah dirinya bisa mempersembahkan kepada tim yang dibelanya gelar juara sebuah kompetisi atau turnamen.

Pelatih D, didaulat menjadi coach berprestasi hebat, salah satunya karena mampu membawa tim asuhannya menjuarai sebuah kompetisi atau turnamen.

Nah, terkait pelatih ini, bagi STY pelatih timnas Indonesia asal Korea Selatan, kegagalannya membawa timnas Indonesia meraih trofi Piala AFF-23 tahun 2023 di Thailand ini merupakan kegagalan yang kesebelas kalinya.

Sepanjang 4 tahun, STY melatih Timnas Indonesia, belum satu gelar juara pun berhasil ia persembahkan kepada masyarakat Indonesia yang dikenal gila sepakbola dan haus akan gelar juara yang memang jarang sekali diraih Timnas Indonesia.

Makanya tak heran jika setiap ketidakberhasilan STY meraih gelar juara di sebuah turnamen yang diikuti Timnas Indonesia, selalu diiringi oleh munculnya pro dan kontra apakah kontrak STY sebagai pelatih Timnas Indonesia layak diakhiri atau tidak.

Saat ini pun polemik itu kembali muncul, bahkan sudah terjadi sebelum laga final Piala AFF U-23 2023 dilangsungkan., ketika di babak penyisihan turnamen, Timnas Indonesia tampil buruk.

Tagar #STYOut muncul di media sosial Twitter, mereka beranggapan performa tim Merah Putih tak ada perkembangan di bawah asuhan STY, faktanya tak ada satu gelar juara pun yang telah ia persembahkan bagi Indonesia.

Saat Indonesia mencicipi gurihnya gelar juara Sea Games Kamboja tahun 2023 ini, Timnas Indonesia tak diasuh langsung oleh STY, melainkan  dilatih oleh Indra Sjafri.

Sebagian netizen dan pengamat sepakbola  beroendapat, sudah waktunya Federasi Sepakbola Indonesia (PSSI) mengevaluasi kinerja STY dan menterminasi kontraknya yang akan berakhir Desember 2023.

Tentu saja pendapat tersebut cukup wajar terjadi, seperti halnya pendapat lain yang menyatakan bahwa kontrak STY melatih Timnas Indonesia layak untuk terus diperpanjang.

Pihak yang menginginkan STY dipertahankan beralasan di bawah asuhan STY performa timnas Indonesia lebih keren, baik dari sisi teknis, fisik serta mental bertanding.

Di bawah asuhan STY, kita bisa menyaksikan ketahanan fisik pemain timnas begitu kuat, mampu bermain stabil padahal dengan intensitas dan tekanan laga yang sangat tinggi selama 90 menit bahkan lebih.

Secara teknis dan skill pun kualitas pemain Indonesia di bawah asuhan STY terlihat berkembang lebih ciamik

Jadi mereka yang menginginkan STY dipertahankan sebagai pelatih Timnas Indonesia berpandangan sepakbola itu bukan hanya perkara gelar juara, tapi lebih kepada performa timnas secara keseluruhan.

Mulai dari teknis, skill, visi bermain dan kapabilitas dalam menterjemahkan taktik serta ketahanan fisik.

Jika jalur pembinaannya sudah benar seperti yang dilakukan STY, urusan juara hanya tinggal menunggu waktu saja, lagian sepakbola menurut mereka bukan sesempit perkara menang dan kalah saja.

Idealnya, Timnas Indonesia performa pemainnya berkembang baik dan gelar juara pun terus berhasil diraih, tapi sepakbola Indonesia kan juga belum dalam situasi ideal. 

Masih banyak sekali masalah-masalah  yang perlu dibenahi, seperti misalnya kompetisi yang baik dan berjenjang begitu pun dalam hal pembinaan.

Berharap STY memiliki magic wand yang mampu menyulap sepakbola Indonesia, seketika menjadi hebat dan merasakan tsunami trofi seperti  yang diharapkan semua pihak, itu terlalu berlebihan.

Harus diingat setiap pelatih itu sehebat apapun dia,pasti memiliki handicap tertentu, tak ada yang sempurna, bahkan pelatib sekelas  Pep Guardiola, Jurgen Kloop, atau pelatih tim nasional hebat semacam Joachim Loew, Rinus Michele atau Arrigo Sachi sekalipun.

Mereka hebat, karena melatih pada saat yang tepat dan tim yang tepat pula serta environment yang ada disekitarnya cocok  dengan filosofi dan cara melatih mereka.

Andai,  Pep Guardiola atau Jurgen Kloop didaulat dan mau melatih Timnas Indonesia, apakah  bakal seketika membuat Timnas Indonesia hebat dan gelar juara langsung berdatangan bak tsunami, belum tentu juga.

STY saya rasa masih cocok untuk melatih Indonesia, meski belum sempurna. Ia mampu berdansa dengan segala keterbatasan sepakbola Indonesia, dan membuat kapasitas tim nasional berkembang membaik seperti saat ini.

Situasi STY dan kiprahnya di Timnas Indonesia ini mengingatka saya kepada kalimat metafora populer "Every Rose Has It Thorn" yang maknanya kurang lebih setiap orang atau sesuatu hal sehebat apapun dia pasti ada sisi buruknya.

Frase dari kalimat metafora tersebut bukan bermaksud menggambarkan sikap pesimistis, tapi lebih kepada  pernyataan sederhana agar kita menerima fakta dan kondisi yang ada.

STY harus diakui memang belum mampu menyuguhkan gelar juara bagi Indonesia, tetapi harus diakui pula bahwa ia memberikan perubahan baik yang sangat signifikan terhadap permainan timnas Indonesia saat ini.

Meskipun pastinya harus ada target-target tertentu semacam Key Performance Indeks (KPI)  yang dibebankan pada STY sebagai pelatih Timnas Indonesia. 

Andai target itu tak tercapai evaluasi harus segera dilakukan, sebaliknya jika KPI-nya tercapai ia layak mendapat penghargaan, sejalan dengan prinsip meritokrasi

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun