Menjadi kaya seperti Rafael Alun Trisambodo mantan pejabat eselon III di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP-Kemenkeu), harta berlimpah, gemah ripah loh jinawi, "bro di juru bro di panto ngalayah di tengah imah"bukan lah sesuatu yang diharamkan, sepanjang hartanya tersebut berasal dan bersumber dari sesuatu yang halal.
Menjadi persoalan, ketika kekayaan yang didapatkannya berasal dari usaha-usaha yang berlawanan dengan kejujuran serta norma-norma dan aturan yang ada.
Seorang pengusaha, seperti misalnya kakak beradik Keluarga Hartono pemilik Grup Djarum dan Bank BCA atau jajaran pengusaha lainnya, dianggap pantas memiliki harta berlimpah, toh mereka adalah seorang pengusaha dengan rekam jejak usaha yang sangat panjang.
Mereka sudah puluhan tahun bergelut dalam bidang usahanya, naik turunnya, susah senangnya sudah dilalui, oleh sebab itu ketika mereka sekarang menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia, masyarakat mafhum, tak ada yang mempersoalkannya, bahkan menjadikan mereka semacam panutan untuk meraih kesuksesan dan kekayaan.
Artinya secara profiling memang wajar Keluarga Hartono tersebut bisa memiliki harta melimpah ruah seperti saat ini.
Namun, ketika seorang pejabat publik bekerja di sebuah Kementerian atau Lembaga Negara dan sejak dari awal berkarir di sana berasal dari keluarga yang secara materi rata-rata air saja, tapi kemudian memiliki harta yang berlimpah, pasti akan menjadi persoalan paling tidak masyarakat akan bertanya-tanya "dari mana asal muasalnya harta bendanya tersebut"
Karena secara logika awam saja, hal itu tak cocok dengan profilingnya. Sebagai seorang pejabat di sebuah instansi Pemerintah penghasilannya sudah "ditakar" dan takarannya itu tersebar luas menjadi semacam informasi publik yang bisa diamati dan dianalisa oleh siapapun.
Makanya, ketika kasus Rafael Alun  ini mencuat kepermukaan, dipicu oleh kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya, Mario Dandy terhadap seorang remaja bernama David, selain kasus hukum menimpa anaknya, sang ayah pun terimbas setelah publik mengetahui bahwa ia seorang pejabat DJP-Kemenkeu, mengacu pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) berharta Rp.56 miliar.
Jumlah harta yang dalam profiling publik diluar kewajaran, ironisnya sesuatu yang dianggap tidak wajar tersebut terkesan dibiarkan saja oleh Kemenkeu, institusi tempat Rafael bekerja.
Kesan "pembiaran" tersebut tertangkap publik, karena jumlah kekayaannya itu sudah dilaporkan melalui LHKPN Â ke institusi tempatnya bernaung dan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) lembaga tempat LHKPN dikelola.
Akhirnya publik mengambil kesimpulan, bahwa pengawasan di Kementerian yang merupakan kasir negara tersebut sangat lemah dan bersakwasangka, jangan-jangan masih banyak Rafael-Rafael lain di institusi negara yang dipimpin oleh Sri Mulyani Indrawati ini.