Sentimen politik yang saling menjatuhkan, merasa paling benar sendiri, dan berani mengklaim bahwa hanya mereka yang paling peduli pada wong cilik. Kisah-kisah pembelaan terhadap rakyat dijadikan bahan jualan yang tak berkesudahan.Â
Padahal nyatanya hal tersebut dilakukan hanya saat mendekati pemilu saja. Setelah kekuasaan berhasil diraih, kisah yang diceritakan berbeda dan rakyat nyaris tak merasakan manfaat apapun dari hajatan demokrasi tersebut.
Selain itu, jika diamati di berbagai platform media sosial, perang narasi antara calon pengusung dan calon pendukung masih saja berkutat pada politik identitas, saling menyerang satu sama lain dengan hal-hal yang kurang substansial, ajaibnya meski ramai seperti itu hampir tak terdengar upaya partai politik dan bakal calon presiden yang akan berkontestasi dalam Pemilu 2024 untuk mengingatkan para pendukungnya agar tak menggunakan politik identitas, misinformasi dan ujaran kebencian.
Mereka seolah menikmatinya dan tak memedulikan sepanjang ujungnya berhasil membawa dirinya atau kelompoknya meraih kekuasaan.
Pertarungan ide dan gagasan hampir tak pernah terdengar, yang ada hanyalah  politik patron, saling menjelekan seolah yang berseberangan dengan mereka itu setan yang tak pernah benar, seraya mengagungkan jagoannya laksana malaikat yang tak pernah salah
Padahal yang mereka usung itu sama-sama manusia, yang bisa benar tapi bisa juga salah. Rasionalitasnya nyaris hilang. Â Sampai kapan demokrasi di Indonesia akan seperti ini?Â
Lebaran Kuda! entah sampai kapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H