Pemilu 2024, suhu politik Indonesia mulai memanas. Meskipun eskalasinya dirasakan tak melaju terlalu cepat, mungkin fokusnya terpecah karena ketidakpastian perekonomian global dan sangat mungkin berimbas ke Indonesia.
Memasuki tahun 2023, menjelangAtau mungkin, antusiasme masyarakat terhadap politik mulai menunjukan penurunan, karena politik di negeri ini begini-begini aja, masih berkutat pada politik "perasaan" yang miskin ide dan gagasan, sepertinya belum menunjukan kedewasaan dalam berdemokrasi.
Salah satu indikator terkait kualitas demokrasi Indonesia adalah Indeks Demokrasi yang dirilis  oleh The Economis Intelegence Unit (EIU) yang mengklasifikasikan Indonesia ke dalam kategori "cacat."
Dalam indeks tersebut, Indonesia berada di urutan ke-52 dengan skor 6,17, skor yang menunjukan, meski memiliki sistem pemilu bebas dan adil tapi Indonesia masih dikelompokan ke dalam demokrasi yang cacat atau flawed democracy.
Negara dalam kelompok "cacat" ini masih memiliki masalah fundamental dalam berdemokrasi, seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang anti kritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja politik pemerintah yang belum optimal.
Hasil penelitian IEU ini memang masih bisa diperdebatkan, mengingat jika diamati secara umum kebebasan berpendapatan termasuk kebebasan pers tak bisa disebut rendah juga.
Saat ini masyarakat Indonesia bisa melakukan kritik secara bebas terhadap Pemerintah bahkan mungkin hingga di titik tertentu kebablasan.
Namun, untuk masalah kinerja politik, Pemerintah terutama dalam hal pendidikan politik terhadap rakyatnya memang masih jauh dari optimal. Padahal hal tersebut merupakan kunci untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia.
Rakyat hanya dijadikan objek yang mudah dipengaruhi oleh kepentingan pribadi dan kelompok-kelompok politik.Â
Kondisi ini sepertinya dinikmati betul oleh partai politik dan para politisinya, mereka seolah enggan menggunakan kapasitas yang mereka miliki, untuk mencerdaskan rakyat dalam berpolitik.
Mereka cenderung menyuguhkan berbagai akrobat politik kepentingan yang melelahkan dan membosankan. Bolak-balik mematut-matutkan diri hanya untuk meraih kekuasaan belaka.