Pornografi sebagai sebuah istilah, secara etimologis berakar dari bahasa Yunani yang memiliki arti "menulis" dan "pelacur"
Melansir BBC.Com, cikal bakal pornografi ini sebenarnya adalah seni. Sejak awal keberadaan seni, seks dan segala hal yang berhubungan dengannya seperti alat kelamin pria dan wanita selalu menjadi subjeknya.
Hal tersebut terlihat dari temuan para ahli arkeologi yang mendapati gambar-gambar pantat, payudara, vagina, atau pun penis yang dililukis oleh para pelukis pra sejarah di gua-gua.
Ukiran di atas batu bergambar dua orang yang tengah berhubugan seks pertama kali ditemukan 11.000 tahun lalu di Judea, salah satu wilayah di kawasan Yerusalem.
Selain itu, gambar-gambar "tak senonoh" yang dilukis dengan berbagai medium ditemukan merata hampir di seluruh bagian dunia.
Di Mesopotimia pada sekitar tahun 2000 sebelum masehi gambar serupa ditemukan, dengan medium plakat yang terbuat dari terakota.
Pada era memasuki tahun masehi, di Peru, suku Moche menggambar pasangan yang tengah berhubungan seks di atas keramik.
Begitu pula di India, dengan medium kertas pada masa yang sama mulai diperkenalkan Kama Sutra yang dianggap sebagai buku petunjuk  dalam bersenggama, meskipun sebenarnya Kama Sutra merupakan bagian dari rangkaian Kama Shastra yang penuh dengan ajaran filosofi kehidupan.
Seiring perkembangan teknologi, terutama yang berkaitan dengan dunia fotografi, pertumbuhan dunia pornografi berderap maju lebih cepat.
Meskipun tak serta merta ikut terdorong oleh perkembangan industri film yang mulai menggeliat di awal abad 20.
Namun bukan berarti tak ada yang membuat film porno, mengutip Kompas.Com, film porno pertama kali dibuat pada tahun 1908 di Perancis dengan judul "Bedtime for The Bird"
Tetapi, secara keseluruhan jumlah produksinya masih sangat rendah, lantaran pornografi pada saat itu kebanyakan diminati secara personal di ruang -ruang pribadi dengan alasan norma dan keadaban, Â sementara film lebih banyak dinikmati di ruang umum dan bersifat massal.
Padahal untuk membuat film dibutuhkan biaya besar dan agar bisa balik modal perlu jumlah penonton yang banyak.
Alhasil secara ekonomi, industri film pornografi saat itu tak bisa berkembang, lantaran pemikmatnya enggan pergi ke bioskop yang memutar film porno.
Namun, para pelaku industri pornografi terus berusaha untuk dapat mengakali situasi tersebut. Di awal 1960-an dibuat lah semacam "ruang intip" yang dapat menyaksikan film porno dalam ruang tertutup dan personal.
Ketika memasuki tahun 1970-an saat kaset video mulai banyak digunakan, industri pornografi dalam bentuk audio visual mulai berkembang pesat.
Bahkan di Amerika Serikat di mana industri film porno berkembang sangat pesat, hampir sebagian besar kaset video materinya adalah film-film yang saat itu disebut BF(blue film) yang kemudian menjadi dasar lahirnya istilah "film bokep."
Apalagi kemudian setelah internet berkembang di awal 1990-an, industri pornografi seperti menemukan "habitatnya."
Produsen dan konsumen pornografi seolah mendapat ruang bermain yang sangat luas, sehingga mereka leluasa mengeksploitasi  ceruk pasar yang baru tercipta karena keberadaan internet tersebut.
Di awal-awal, Â ketika film porno mulai menjadi sebuah industri nilainya masih sangat kecil, di bawah US$ 1 miliar.
Belakangan, seiring dengan perkembangan teknologi digital dan akses internet lebih luas, mudah, dan murah, perputaran uang di industri film pornografi secara global melesat naik tak tertahankan.
Melansir situs Business insider, pendapatan industri film porno secara global diluar segala pernak perniknya, pada tahun 2019 Â mencapai US$ 100 miliar atau Rp. 1.550 triliun.
Angka yang luar biasa besar, sebagai perbandingan, pada tahun yang sama industri film  Hollywood pendapatannya hanya US$ 42,5 miliar atau Rp. 658,75 triliun.
Internet menjadi lahan basah industri pornografi, sebuah statistik menggambarkan bahwa 1 dari 7 pencarian di dunia maya adalah situs porno.
Salah satu situs porno paling terkenal, Pornhub sedikit lebih populer dibandingkan dengan Netflix dan linkedin.
Informasi ini sejalan dengan data yang menunjukan bahwa 12 persen dari seluruh website yang ada di dunia maya dihuni oleh situs porno yang jumlahnya sekitar 25 juta website.
Traffic akses dari situs porno ini mencapai 30 persen dari seluruh lalu lintas web yang tercatat di dunia digital.
Persentase tersebut, merupakan paling banyak ketiga setelah akses pengguna internet terhadap mesin pencari Google dan layanan video dan streaming Youtube.
Menurut situs similarweb, pengakses konten porno didominasi oleh pria yakni sebanyak 70 persen, sisanya perempuan 30 persen.
Sementara negara yang penduduknya paling banyak mengakses situs porno adalah Amerika Serikat, tak kurang 40 juta orang mengakses konten porno secara reguler di negeri Paman Sam ini, di susul Brazil dan Rusia.
Bagaimana dengan Indonesia, beberapa tahun belakangan Indonesia memang tak termasuk ke dalam 10 besar pengakses situs porno, lantaran aksesnya sudah diblokir oleh Pemerintah.
Sebelum Pemerintah melakukan pemblokiran, sekitar tahun 2008 hingga 2014, penduduk Indonesia selalu menempati peringkat atas sebagai pengakses situs-situs tak senonoh itu.
Pertanyaannya kemudian mengapa konten-konten pornografi begitu banyak diminati manusia, padahal katanya tabu dan tak sesuai norma yang ada, sehingga industrinya bisa sebesar itu?
Jika mengacu pada logika sederhana kenapa konten pornografi diminati adalah karena manusia pada dasarnya memiliki dorongan yang kuat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan urusan seksual dan keingintahuan yang besar terhadap sesuatu hal.
Selain itu, menurut Seksolog Dr. Wimpie Pangkahila seperti dilansir Kompas.Com, Â sebab lain yang mendorong manusia cenderung menyukai hal-hal berbau pornografi, lantaran memberi kesempatan untuk melatih secara imajinatif tentang sesuatu yang ingin diketahui serta mendapat sesuatu yang bersifat rekreatif.
Biasanya para penikmat "situs-situs biru" awalnya hanya iseng, sekedar mengisi waktu. Kemudian intensitasnya meningkat sampai akhirnya kecanduan.
Apabila sudah sampai pada titik kecanduan, dampaknya bakal buruk bagi kehidupan seksual yang bersangkutan atau bahkan pada perilaku hidupnya sehari-hari.
The choice is yours, anyway.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H