Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kenaikan Cukai Rokok, antara Kesehatan, Keberlangsungan Pelaku Industri, dan Konsumen

4 November 2022   14:20 Diperbarui: 4 November 2022   16:11 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan hari Kamis {03/11/22} kemarin secara resmi kembali menaikan tarif cukai rokok atau hasil tembakau untuk tahun 2023. Pengumuman kenaikan cukai rokok sudah seperti ritual tahunan, yang setahun sekali terjadi.

Oleh sebab itu pelaku industri dan konsumen rokok sudah tak terlalu kaget dengan keputusan Pemerintah ini, mereka tak merasa perlu mempersoalkan  secara berlebihan, apalagi turun ke jalan melakukan demo berjilid-jilid. Meski riak-riak kecil di kalangan pelaku usaha tembakau terjadi dan dibahas dalam obrolan "warung kopi" para perokok.

Kenaikan cukai rokok tahun 2023 ini dan tahun 2024 mendatang, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati rata-rata sebesar 10 persen, lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya.

Setiap kelompok rokok yang biasanya mengacu pada jenis, cara, dan alat pembuatannya, memiliki persentase kenaikan yang berbeda-beda. Pembagian kelompok tersebut terdiri dari golongan Sigaret Kretek Mesin {SKM},Sigaret Putih Mesin {SPM}, dan Sigaret Kretek Tangan{SKT}.

Untuk SKM golongan I dan II kenaikan cukai akan berada dikisaran 11,50 hingga 11,75 persen.SPM I dan II seperti tahun-tahun sebelumnya menjadi kelompok paling tinggi kenaikannya yakni paling tinggi 12 persen dan terendah 11 persen. 

Sedangkan SKT golongan I dan II akan menjadi kelompok kenaikan tarif cukai  paling rendah yakni sebesar 5 persen. Variasi kenaikan cukai rokok ditetapkan karena beberapa hal, salah satunya menyangkut serapan lapangan kerja pada industri tembakau.

SKT karena menyerap jumlah pekerja paling besar serta banyak diproduksi oleh pengusaha rokok rumahan atau  kelompok UMKM maka kenaikan cukainya paling rendah.

Selain rokok, Pemerintah pun menaikan cukai untuk rokok elektronik atau yang lebih dikenal dengan vape sebesar 15 persen untuk 5 tahun yang akan datang dan 16 persen untuk hasil tembakau lainnya.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, alasan pemerintah menaikan tarif cukai tersebut untuk mengendalikan jumlah perokok dan pengguna hasil tembakau selain untuk menambah pendapatan negara.

Hal tersebut sejalan dengan fungsi cukai yang merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunya sifat dan karakteristik  seperti yang diatur Undang-Undang nomor 37 tahun 2007 tentang Cukai.

Sifat cukai ini selektif dan diskriminatif, karena tak semua barang terkena cukai. Hanya barang yang memiliki karakteristik berikut yang terkena cukai, konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya berdampak negatif terhadap konsumen dan lingkungan, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Nah di Indonesia hingga saat ini, ada 3 jenis barang yang terkena cukai, selain rokok dan hasil olahan tembakau lainnya, adalah minuman mengandung etil alkohol dan etil alkohol itu sendiri.

Konon katanya dalam beberapa waktu ke depan akan ada satu tambahan jenis barang lagi yang akan terkena cukai, yaitu minuman kemasan yang mengandungg pemanis, karena jika tak dikendalikan pemanis dalam minuman kemasan bisa berdampak buruk bagi kesehatan konsumen seperti halnya rokok yang memang sudah dimafhumi berdampak buruk bagi mereka yang mengkonsumsinya dan mereka yang menghisap asapnya meski tidak mengkonsumsinya secara langsung.

Namun demikian, industri rokok merupakan salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Dalam Laporan APBN Kita 2022, hasil cukai rokok tahun 2021 tercatat mencapai Rp.188,71 triliun atau sekitar 10 persen dari pendapatan negara.

Selain itu turnover uang yang berada di industri rokok atau hasil tembakau lainnya secara keseluruhan luar biasa besar dan masyarakat yang hidupnya tergantung pada industri ini juga sangat banyak.

Menurut laporan Ernst and Young hingga tahun 2014 saja, tenaga kerja yang terlibat dalam industri ini mencapai 5,98 juta orang, dengan rincian 4,28 juta orang merupakan pekerja di sektor manufaktur dan distribusi. 

Sementara, 1,7 juta pekerja di sektor perkebunan dan petani lokal tembakau dan cengkeh yang tersebar di wilayah Kediri, Malang, Kudus dan Suarabaya, serta beberapa tempat lain, dan untuk perkebunan cengkeh di seluruh wilayah Indonesia.

Belum lagi jika kita hitung keluarga para pekerja, yang bisa kita asumsikan 4 orang,  jadi total secara keseluruhan masyarakat indonesia yang hidupnya tergantung pada industri rokok dan pengolahan hasil tembakau lainnya bisa mencapai 25 juta orang atau hampir 10  persen jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan.

Namun demikian, kita pun tak bisa menafikan dampak buruk rokok bagi para penggunanya, selain adiktif,juga dapat memicu kanker terutama kanker paru-paru, penyakit yang berhubungan dengan pernafasan bahkan hingga impotensi.

Menurut penelitian yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan secara makro ratusan triliun Rupiah  dikeluarkan pemerintah dan masyarakat untuk kerugian akibat rokok. 

Meski secara langsung uang yang dikeluarkan masyarakat dan pemerntah untuk kesehatan akibat dampak rokok, menurut catatan Kemenkeu, secara total mencapai Rp.17.9 triliun hingga Rp.27,7 triliun pada tahun 2020.

Oleh sebab itu, pengendalian terhadap rokok perlu dilakukan pemerintah melalui keberadaan cukai, meski dalam saat bersamaan upaya pengendalian tersebut tak boleh hingga mematikan industrinya.

Dan faktanya, pengendalian melalui sistem pentarifan cukai yang dilakukan Pemerintah bisa disebut berhasil. Menurut data Badan Pusat Statistik {BPS} pada tahun 2020 jumlah perokok 15 tahun ke atas turun 29,05 persen.

Menurut catatan Kemenkeu, produksi rokok resmi di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 320,1 milyar batang. Meningkat 7,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 298,4 milyar batang.

Hal tersebut menandakan bahwa industri rokok nasional masih memiliki ruang untuk tumbuh, dan sepertinya industri yang oleh sebagian besar pandit ekonomi disebut sebagai sunset industri ini diperkirakan masih akan cukup lama bertahan.

Pelaku industri rokok nasional, tentu saja memiliki strategi tersendiri untuk menunggangi gelombang kenaikan cukai ini agar tetap bisa bertahan, salah satunya dengan memproduksi rokok berharga murah.

Strategi tersebut perlu dilakukan lantaran biasanya ketika harga jual rokok naik, konsumen rokok akan beralih mengkonsumsi rokok berharga lebih murah.

Satu hal, yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah kemungkinan banyaknya peredaran rokok tanpa cukai yang kini banyak didapati di tengah masyarakat, seperti yang bermerk Luffman.

Apabila hal tersebut dibiarkan, harapan pemerintah untuk mengendalikan jumlah perokok sekaligus menambah pendapatan negara dari cukai rokok akan sia-sia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun