Memasuki periode jabatannya yang kedua, pandemi Covid-19 mulai menggoncang dunia termasuk Indonesia, yang dampak penanganannya nyaris melumpuhkan seluruh sektor ekonomi.
Hal tersebut, membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia kedodoran, di satu sisi pendapatannya jeblok, sementara di sisi lain belanjanya meroket.
Kenaikan belanja tersebut digunakan untuk kesehatan, Perlindungan Sosial (Social Safety Net), program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Pada tahun 2021 dan 2021, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap defisit APBN yaitu 6,34 persen dan 5,7 persen. Pendapatan Negara pada dua tahun tersebut sebesar Rp.1.647,8 triliun dan Rp.1.743,6 triliun.Â
Sementara, Belanja Negara tahun 2020 dan 2021 meningkat cukup tajam yaitu Rp2.595,5 dan Rp2.750.
Hal ini membuat Gap antara pendapatan dan belanja yamg biasanya disebut defisit kian menganga, tak ada jalan lain untuk menambal defisit itu selain melalui utang negara.
Makanya kemudian, akselerasi utang Indonesia dalam dua tahun terakhir pertumbuhannya jauh lebih kencang dari PDB lantaran dunia mengalami masalah yang sama akibat pandemi.Â
Hampir seluruh negara melakukan restriksi mobilitas sehingga ekonomi tak bergerak dan akhirnya untuk membiayai belanjanya menggunakan pinjaman, sehingga utang di beberapa negara meningkat, ternasuk Indonesia.
Namun demikian, sesuai Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, nisbah antara jumlah utang negara berbanding PDB Indonesia  tetap terjaga di bawah 60 persen.
Pada akhir 2021 menurut data yang dirilis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) utang negara mencapai Rp. 6.910 triliun dengan nisbah terhadap PDB mencapai 41 persen. Nisbah sebesar itu merupakan tertinggi dalam 16 tahun terakhir.
Terakhir, menurut data dari Kemenkeu pada Juli 2022, utang negara tercatat mencapai  Rp. 7.163 triliun dengan nisbah terhadap PDB sebesar 37,91 persen.