Salah satu isu ekonomi yang paling sering dan kencang untuk dibicarakan, dikritik, bahkan dinyinyiri adalah masalah Utang Negara. Apalagi jika mendekati tahun politik, isu utang negara menjadi lebih seksi untuk dibahas panjang lebar.
Terkadang, pembahasannya tersebut dipergunakan untuk saling mendiskreditkan satu sama lain.
Padahal faktanya, sepanjang 77 tahun Republik ini berdiri, dengan 7 Presiden berbeda, tak ada satu pun rezim pemerintahan yang tak memiliki utang, siapapun presidennya.Â
Tentu saja dengan jumlah yang berbeda-beda di setiap masanya, sesuai situasi dan kondisi saat mereka memerintah.
Menurut beberapa sumber referensi yang saya dapatkan, pada masa Soekarno menjabat sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia, Republik yang masih bayi tersebut, sudah diwarisi utang oleh Pemerintah Hindia Belanda sebesar US$ 2,3 miliar atau dalam kurs terhadap Rupiah saat ini Rp.34,2 triliun.
Pada masa pergantian Orde Lama ke Orde Baru, Pemerintahan Soekarno pun mewariskan utang negara ke Pemerintahan Soeharto sebesar Rp.551,4 triliun. sementara Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat itu sebesar Rp.955,6 triliun.
Pada masa Orde Baru, saat Soeharto memerintah situasi politik, keamanan, dan ekonomi Indonesia lebih stabil.Â
Ditambah harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia dalam kondisi bagus, terutama sektor minyak dan gas, dan saat itu cadangan migas yang dimiliki Indonesia masih sangat banyak, sehingga Indonesia masih menjadi net eksportir migas dunia.
Di masa itu skema pinjaman yang digunakan Indonesia 95 persen bersifat bilateral dan multilateral.Â
Mungkin kita masih ingat dengan keberadaan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), sebuah kelompok negara pemberi utang kepada Indonesia yang diketuai oleh Belanda.
Setelah Soeharto lengser pasca reformasi 1998, warisan utang negara itu pun berlanjut kepada Pemerintahan BJ. Habibie.Â