Pertalite dan Solar harus terdaftar di aplikasi MyPertamina, saya pikir itu masih masuk akal.
Ketika Pemerintah dan Pertamina, mensyaratkan masyarakat yang akan membeli bahan bakar minyak bersubsidi jenisKenapa masuk akal, selain alasan agar subsidi yang diberikan tepat sasaran, asumsi bahwa masyarakat konsumen Pertalite dan Solar memiliki kemampuan untuk mengakses smartphone juga masih masuk akal.
Namun, ketika mendengar kabar bahwa aplikasi Mypertamina yang harus dioperasikan melalui gawai, nantinya juga akan disyaratkan untuk setiap pembelian gas elpiji bersubsidi ukuran 3 lg, saya harus mengatakan bahwa kebijakan Pemerintah dan Pertamina ini sungguh sangat absurd bahkan konyol.
Kita tahu, elpiji ukuran 3 kg tersebut diperuntukan buat warga miskin. Daya beli masyarakat level ini tak sekuat pemilik kendaraan yang merupakan konsumen BBM.
Mereka sangat mungkin tak memiliki akses terhadap smartphone dan berbagai sarana penunjangnya seperti sinyal dan paket kuotanya.
Belum lagi terkait kemampuan mereka mengoperasikannya. Karena konsumen elpiji 3 kg tak hanya emak-emak atau pengusaha mikro yang berada di kota tetapi hingga pelosok desa nun jauh diseberang sana.
Meskipun kebijakan ini  baru wacana, tetapi kayanya sudah hampir pasti dilaksanakan meski belum tahu kapan.Â
Seperti dilansir CNNIndonesia.Com mengutip pernyataan Direktur Pemasaran Regional Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra, terkait wacana tersebut, saat ini Pertamina secara diam-diam sedang melakukan uji coba terhadap 114 ribu warga.
Menurutnya, dalam uji coba tersebut pihaknya berkolaborasi dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang biasanya digunakan untuk penyaluran bantuan sosial.
Oke lah secara teori, agar subsidi tepat sasaran ini hal yang dilakukan Pertamina ini tak terlalu buruk.Tetapi pada praktik dilapangan akan menjadi sangat sulit bahkan cenderung konyol.
Belum lagi, jika kita berbicara pengawasannya, untuk memantau agar subsidi elpiji 3 kg ini tepat sasaran jauh lebih rumit dibandingkan dengan mengawasi BBM bersubsidi.
Lagipula dalam situasi seperti saat ini, kebijakan ini masih belum pas, dengan segala dinamika ekonomi masyarakat terutama masalah kenaikan bahan pangan yang belakangan terus terjadi.
Andai memang arahnya demikian, justru akan menimbulkan kesulitan baru, baik untuk penerimanya maupun distribusinya.
Cobalah gunakan cara lain yang masuk akal jika memang ingin subsidi elpiji 3 kg tersebut tepat sasaran.
Kebijakan tersebut juga tak terlalu mendesak karena menurut data dari Kementerian Keuangan realisasi penyaluran elpiji bersubsidi hingga bulan Mei 2022 tercatat di angka 2,5 juta metrik ton, hanya sedikit di atas periode yang sama tahun sebelumnya, yang sebesar 2,4 juta metrik ton.
Dengan demikian masih ada ruang pergerakan kondisi keuangan negara. Harapannya, Pemerintah bisa mencari solusi yang lebih tepat terkait masalah ini.
Jangan sampai mencoba menyelesaikan sebuah masalah tetapi malah menimbulkan masalah lain yang lebih kompleks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H