Jadi jika kita melakukan isi ulang e-money Rp. 50.000 maka uang yang tercatat dalam kartu atau perangkat uang elektronik yang kita miliki hanya Rp. 48.500 saja, karena mereka langsung memotong fee dari uang yang dimasukan itu.
Sekarang setelah terkena PPN 11 persen dan maka yang akan tercatat di kartu atau perangkat uang elektronik yang kita miliki tinggal Rp. 48. 335 saja.
Jelas ini bakal menjadi kontraproduktif bagi upaya perluasaan penggunaan uang elektronik seperti yang diharapkan pemerintah dan para pemangku kepentingan di bidang keuangan lainnya.
Masyarakat mungkin akan lebih memilih untuk kembali menggunakan uang tunai saja, daripada harus repot isi ulang uang elektroniknya yang dibebani berbagai macam biaya dan dipajaki pula.
Berbeda jika kemudian  biaya akibat aturan baru perpajakan ini tak harus ditanggung sendirian oleh nasabah, ada burden sharing-lah antara nasabah dan institusi keuangan seperti bank atau developer uang elektronik lainnya.
Jadi untuk PPN 11 persen ini ditanggung oleh penyelenggara atau penerbit uang elektronik, bukan dibebankan kepada nasabah.
Toh mereka sudah mendapatkan banyak sekali pendapatan dari fee dari layanan uang elektronik inj, yang dalam sistem akuntansi perbankan dimasukan ke dalam kolom fee based income tersebut.
Asal tahu saja, fee based income bank -bank besar di Indonesia itu luar biasa besar nilainya bisa belasan triliun per tahun.
Seperti dilansir Kontan.co.id, pendapatan fee base income Bank Rakyat Indonesia alias BRI Â tahun buku 2021 mencapai Rp. 12,2 triliun.
Bank BCA pun setali tiga uang, jumlah pendapatan dari fee based income-nya double digit diangka Rp.10, 68 triliun
Sementara Bank Mandiri, pendapatan dari fee based income termasuk di dalamnya dari fee top-up uang elektonik ini mencapai Rp. 9,1 triliun.