Setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan operasi militer khusus berskala penuh ke Wilayah Ukraina yang sekaligus merupakan deklarasi perang terhadap Ukraiana pada Rabu (23/02/22) malam waktu Moskowa.
Dilaporkan oleh BBC.com, tak kurang dari lima Provinsi atau Oblast dalam istilah Ukraina telah di serang oleh pasukan Rusia, 19 warga Ukraina dilaporan hilang, 9 diantaranya dinyatakan meninggal.
5 Oblast yang diserang tersebut yaitu, Luhansk di wilayah Timur Ukraina, Kharkiv di bagian Timur Laut, Zhytomyr yang berada di Utara Ibukota Kiev, dan Chernihiv di wilayah Timur Kiev, dan Ibukota Ukraina Kiev.
Misil-misil Rusia mulai dluncurkan untuk menyasar beberapa markas militer dan Bandara Udara utama di Ukraina.
Dengan situasi ini, jelas dan terang bahwa perintah perang dengan skala penuh Putin telah diterjemahkan oleh pasukan Rusia, dan Perang antara dua negara pecahan Uni Sovyet benar-benar terjadi.
Kondisi perang ini, direspon negatif oleh pasar komoditas global. Dilansir Financial Times, harga minyak mentah global mulai menyentuh rekor tertinggi sejak 2014 lalu.
Minyak mentah jenis Brent yang memiliki kepadatan rendah dan banyak diektrasi di Laut Utara harganya langsung melonjak  menembus angka US$ 101,34 per Barrel di awal perdagangan hari ini Kamis (24/02/22), tertinggi sejak September 2014.
Pun demkian dengan harga minyak mentah sejenis lain  West Texas Intermediate (WTI)  di pasar berjangka untuk pengiriman April 2022, saat tulisan ini dibuat  seperti yang saya kutip dari Situs Investing.id naik tajam sebesar 5,95 persen menjadi US$ 97,65 Per Barrel, tertinggi sejak Agustus 2014 lalu.
Pecahnya perang antara Rusia dan Ukraina memicu kekhawatiran terjadinya perang dalam jangka waktu lama di kawasan Eropa.
Apalagi kita tahu Rusia merupakan penghasil minyak mentah terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi, dan penghasil gas alam terbesar di dunia yang  sebagian besar minyak mentah dan gasnya dialirkan ke Eropa untuk menjadi sumbwr energi di hampir seluruh kawasan Benua Baru tersebut.
Sejumlah pandit energi dunia, memprediksi jika konflik fisik antara Rusia dan Ukraina yang kemungkinan juga akan menyeret Amerika Serikat dan aliansi militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berlangsung lama, harga minyak mentah dunia biasa tembus US$ 130 -140 Per Barrel.
Kondisi ini akan berdampak luas terhadap perekonomian dunia termasuk Indonesia yang saat ini dalam kondisi rentan akibat dihantam keras pandemi Covid-19.
Pemulihan ekonomi global hampir dapat dipastikan akan terganggu oleh pecahnya perang dua negara bertetangga ini.
Selain itu, akibat invasi Rusia ke Ukraina akan berdampak pada Ekonomi Rusia secara keseluruhan, karena sanksi ekonomi dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat yang selama ini menjadi counterpart utama perdagangan Rusia sudah dapat dipaatikan akan terjadi.
Alhasil akan meluluhlantakan ekonomi Rusia apalagi dalam saat bersamaan Pemerintah Putin harus mengeluarkan anggaran cukup besar sebagai ongkos perang.
Menurut sejumlah Ekonom dunia, Â sanksi ekonomi berat berupa pembatasan dari sisi keuangan akan diberikan oleh Amerika Serikat dan Negara-Negara Eropa serta negara sekutunya di Kawasan lain terhadap Rusia.
Dampaknya bagi Rusia, pelarian aset ke luar negeri akan terjadi sangat intens, mata uang Rusia Rubel bakal anjlok sangat tajam, inflasi berpotensi meroket, dan gangguan perdagangan antar mereka akan terjadi secara masif.
Sanksi ekonomi ini tentu saja akan dibalas oleh Rusia, Putin bisa saja menutup sama sekali aliran gas dan minyak mentah produksi mereka ke Eropa.
Akibatnya Eropa kekurangan pasokan harga energi menjadi mahal yang otomatis akan memicu lonjakan inflasi dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang stagnan atau paling tidak melambat.
Karena ekonomi dunia sudah borderless, situasi ekonomi yang buruk di Eropa akan mengalir deras ke Amerika Serikat.
Pengelola ekonomi di AS akan kebingungan, kekurangan pasokan energi bakal memicu inflasi energi yang pada akhirnya akan mendorong inflasi di semua sektor, jika hal itu di rem dengan menaikan suku bunga, maka pemulihan ekonomi akan menjadi sangat lambat karena pertumbuhan ekonomi juga akan berjalan seperti keong, lambat banget.
Kondisi ekonomi stagflasi seperti di kedua kawasan utama ekonomi dunia akan membuat perekonomian  globalyang tengah rentan akibat pandemi, akan berpotensi kembali terjun menjadi resesi yang lebih dalam lagi dan pemulihannya akan sangat lambat.
Mungkin dalam situasi seperti itu, peran China akan terlihat lebih banyak lagi dalam membangkitkan ekonomi dunia, tapi itu pun tak akan cukup.
Semoga saja invasi Rusia ke Ukraiana ini bisa segera berakhir, dan tak menyeret AS serta NATO ke dalamnya sehingga perang tak berkepanjangan dan meluas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H