politik elektabilitas.
Dalam delapan tahun belakangan, pasca polarasi masif akibat pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah. Apapun masalahnya selalu ujungnya ditarik ke ranahTerakhir, keriuhan akibat sengketa pertanahan antara sebagian warga Desa Wadas dengan Pemerintah, Â yang senyatanya masalahnya tak berkaitan langsung dengan politik, digiring oleh sejumlah pihak menjadi politis.
Dan yang menjadi sasaran kali ini siapa lagi kalau bukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang menurut banyak survei dalam 2 tahun belakangan elektabilitasnya sangat kuat sebagai bakal calon presiden, dianggap paling memiliki peluang untuk menjadi Presiden dalam pilpres 2024 yang akan datang.
Memang benar Desa Wadas yang berada di Kecamatan Bener Kabupaten Purwerejo merupakan tanggungjawab Ganjar sebagai Gubernur Jawa Tengah, tapi bukan berarti perdebatannya menjadi kepantasan dirinya menjadi calon presiden atau tidak.
Jika mengamati media sosial, banyak netizen yang membela Ganjar seolah apa yang terjadi di Wadas itu adalah tindakan yang sudah benar.
Meskipun lebih banyak menyatakan tindakan Ganjar dalam menangani masalah Desa Wadas ini tidak benar.
Tapi kedua pihak tersebut, sejatinya berdebat bukan tentang kasus Wadas an sich, tetapi menyisipinya dengan pesan-pesan elektabilitas.
Pun demikian, terjadi di Jakarta yang melibatkan Gubernur DKI jakarta Anies Baswedan terkait sengkarut penyelenggaraan Formula E yang diributkan oleh pihak yang menentang dan mendukung ajang balap mobil listrik ini ujungnya juga politik elektabilitas.
Anies dan Ganjar seolah mewakili dua kubu yang kontradiktif, bisa dipahami sih lantaran secara politis Ganjar ada diposisi pemegang kekuasaan "01."Â
Sementara Anies dipersonifikasikan sebagai corong dari oposisi yang dukungannya didominasi oleh mereka yang berada di posisi "02".
Fragmentasinya nyata di dunia maya, coba deh perhatikan, di luar warga Nahdliyin, yang ramai menyerang Ganjar dalam sengketa Bukit Wadas adalah mereka yang selama ini membela Anies.