Saya tidak paham apa yang terjadi sebenarnya saat pemerintah membuat kebjjakan bahwa per 1 Februari 2022 Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah Rp.11.500 per liter, harga minyak goreng kemasan biasa Rp. 13.500 per liter, sedangkan harga minyak goreng kemasan premium Rp. 14.000 per liter.
Tapi fakta dilapangan 7 hari setelah penetapan HET tersebut, harga minyak goreng di pasar tradisional masih tetap saja jauh di atas harga yang telah ditetapkan pemerintah tersebut.
Di lain pihak, di pasar-pasar modern seperti mini market dan supermarket yang relatif lebih terkontrol harganya, minyak goreng malah menjadi langka.
Rak-rak minyak goreng melompong kosong tanpa penghuni, karena tak ada suplai dari produsen dan agen minyak goreng.
Logikanya, sebuah aturan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu sudah berdasarkan kajian yang cukup.
Jadi begitu aturan atau kebijakan ini di rilis ke publik, artinya harus sudah bisa dijalankan oleh seluruh stakeholder terkait aturan tersebut.
Jika tidak berarti ada yang salah dengan proses pembuatan kebijakan tersebut, atau mereka memang sudah tak lagi memandang wibawa pemerintahan atau lebih jauh lagi ada kekuasaan beyond pemerintahan itu sendiri.
Intinya secara keseluruhan pasti ada yang salah dalam ekosistem per-minyak goreng-an nasional.
Dugaan adanya kartel produsen minyak goreng menguat. Ketika harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng yang sebenarnya di kontrol oleh pemerintah menjadi liar tak terkendali, apalagi kita tahu semua bahwa Indonesia adalah produsen terbesar minyak sawit dunia, membuat harga minyak goreng sesuai dengan ketetapan pemerintah seharusnya tak terlalu sulit.
Karena dengan teori ekonomi pembentukan harga, supply dan demand pada dasarnya tidak akan ada masalah. Wong supply-nya cukup dan demand nya biasa saja kok
Kecuali ada tangan-tangan tak terlihat yang mengendalikan supply untuk mengerek harga di luar batas kewajaran yang ditetapkan pemerintah.