Saya tidak tahu persis apakah tudingan asosiasi pengusaha Apindo kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2021 ada kaitannya dengan Pemilihan Presiden 2024 itu valid adanya atau tidak.
Namun, sepertinya belakangan setiap langkah dan kebijakan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI selalu dikait-kaitkan dengan kontestasi politik kekuasaan lima tahunan tersebut.
Hal tersebut bisa dipahami, lantaran kita semua tahu jika mengacu kepada hasil berbagai survei lembaga penelitian politik setahun terakhir dalam urusan politik kontenstasi  posisi Anies adalah sebagai salah satu kandidat kuat untuk melaju dalam Pilpres 2024.
Apalagi Anies, sepertinya menjadi satu-satunya kandidat dengan elektabilitas tertinggi yang dianggap paling kuat untuk mewakili "oposisi" atau pihak-pihak yang berseberangan dengan Pemerintah saat ini.
Terakhir hasil sigi lembaga survei Charta Politika yang dirilis Senin 20 Desember 2021 kemarin, menempatkan Anies Baswedan pada urutan ketiga elektabilitas tertinggi dengan angka 17,7 persen dibawah Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto 22,3 persen dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dengan elektabilitas tertinggi diangka 25,8 persen.
Sehari sebelumnya  Minggu 19 Desember 2021 lembaga politik Kedai Kopi, merilis hasil yang kurang lebih sama di 3 besar kandidat capres pemilik elektabilitas tertinggi.
Hanya saja elektabilitas tertinggi diduduki Prabowo dengan 23,4 persen, Ganjar 16,4 persen dan Anies Baswedan kembali berada di tempat ketiga dengan elektabilitas 12,5 persen.
Gambaran hasil survei dari berbagai lembaga politik setahun belakangan, ya ketiga tokoh ini dengan urutan teratas bergantian satu sama lain, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.
Meskipun memang gelaran Pilpres masih agak lama, dua tahun tiga bulan lagi jika Pilpres jadi dilaksanakan bulan Februari 2024.Â
Namun sepertinya, elektabilitas ketiga tokoh ini tetap tak akan tergoyahkan hingga Pilpres 2024 menjelang, dengan catatan tak ada kejadian besar yang extraordinary menimpa salah satu atau ketiga tokoh pemilik elektabilitas tertinggi ini.
Mungkin akan ada pergerakan-pergerakan dari kandidat-kandidat lain tapi angkanya tak akan melewati ketiga orang ini.
Nah, diantara ketiga tokoh inilah, Anies Baswedan lah yang digadang-gadang sebagai "wakil oposisi"
Meskipun sebenarnya, Anies sendiri secara eksplisit belum pernah menyebutkan bahwa dirinya beroposisi dengan Pemerintah saat ini.
Tetapi jika dilihat dari sejarah dan struktur politik Anies Baswedan saat mulai hijrah ke dunia politik, terlihat Anies memang banyak didukung oleh mereka yang berseberangan dengan Pemerintah Jokowi.
Memang langkah besar awal menceburkan diri di dunia politik  Anies berada di kubu Jokowi sebagai Jubir tim Sukses Jokowi-Jusuf Kalla  dalam Pilpres 2014.
Alhasil karena kiprahnya membantu Jokowi-JK menang dalam Pilpres 2014, Anies diberi "hadiah" sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Sayangnya di tengah jalan masa baktinya, entah lantaran alasan apa Anies terkena reshuffle, ia diganti oleh Muhadjir Effendi.
Tetiba dimasa setelah itu, ketika Pilkada Gubernur DKI 2017 memanas, di menit-menit akhir,  seperti yang diucapkan oleh JK yang dilansir berbagai media Anies dicemplungkan menjadi salah satu calon Gubernur dipasangkan dengan kader Gerindra Sandiaga Uno  yang saat itu "beroposisi" terhadap Pemerintahan Jokowi sebagai Calon Wakil Gubernur.
Untuk berhadapan dengan pasangan Cagub-Cawagub dari PDIP sekaligus petahana Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dengan Jarot Sjaeful Hidayat dan poros lain yang diisi oleh cagub Agus Harimurty Yudhoyono dan  cawagub Silvia Murni.
Dengan berbagai dramanya terutama mencuatnya isu politik identitas, Pilkada DKI 2017 yang kemudian dimenangkan pasangan Anies-Sandi ini menjadi swing point bagi Anies Baswedan untuk dianggap sebagai tokoh "perlawanan oposisi".
Hal itu tak terlepas dari sokongan mereka yang berada diluar kekuasaan terhadap Anies , seperti PKS, PAN, Gerindra dan berbagai ormas-ormas keagamaan konservative seperti FPI dan para sekondannya.
Apalagi kemudian dalam Pilpres 2019, Prabowo Sandi dari Gerindra, PKS and the Gank kembali harus berhadapan dengan Jokowi-Maaruf Amin dari PDIP, Golkar and the Gank.
Dan saat itu posisi Anies terlihat  memihak Prabowo meskipun samar,  apalagi mantan wakilnya Sandiaga menjadi pasangan Prabowo sebagai cawapres.
Situasi ini memperkuat posisi Anies Baswedan dianggap sebagai tokoh oposisi. Apalagi kemudian Gerindra dengan Prabowo-Sandi-nya bergabung dengan Pemerintahan Jokowi pasca kalah dalam Pilpres 2019.
Ya sudah tak ada lagi tohoh oposisi yang bisa diharapkan menjadi simbol bagi oposisi, Anies Baswedan lah yang dianggap sebagai simbol "oposisi" paling kuat, apalagi secara konstan elektabilitasnya terus berada di tiga besar teratas.
Makanya,dengan situasi politik yang masih membelah seperti saat ini setiap kebijakan, tindakan dan keputusan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta selalu menjadi sorotan semua pihak.
Seperti halnya setiap kebijakan, tindakan, dan keputusan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pihak yang kontra dan banyak melakukan kritik terhadap setiap kebijakan Anies sebagai Gubernur jika diamati lewat unggahan di berbagai platform media sosial didominasi oleh mereka yang merupakan pendukung Jokowi dan Ahok dalam Pilkada DKI 2017.
Begitupun dengan pihak yang kontra terhadap Jokowi, didominasi oleh mereka yang saat ini mendukung Anies Baswedan.
Di luar itu, sama halnya dengan setiap kebijakan Jokowi, setiap kebijakan Anies Baswedan selalu di tarik-tarik ke ranah politik atau lebih tepatnya dipolitisasi.
Seperti misalnya dalam kasus kenaikan UMP 2021 tadi pihak Apindo menyebut keputusan Anies menaikan UMP diluar kesepakatan sebesar 5 persen tak lain dan tak bukan untuk kepentingan politik elektabilitas 2024 kelak.
Kemudian, masalah hajatan Formula E,berbagai kebijakan dalam penanganan banjir seperti naturalisasi sungai dan  sumur resapan atau penanganan pandemi Covid-19 termasuk urusan bansos di dalamnya, selalu dikaitkan dengan politik.
Hal serupa terjadi juga pada setiap kebijakan Jokowi, selalu ada pihak-pihak yang secara membabi buta menyalahkan terlepas kebijakan itu positif atau negatif.
Kedua belah pihak, selalu melihat sisi negatif dari setiap kebijakan Anies Baswedan dan Jokowi. Jadi seperti anak TK, sama sekali tak melihat permasalahan secara utuh dan dewasa karena semuanya dilihat dengan dasar kebencian.
Anies Baswedan sendiri terlihat menikmati "sorotan" ini lantaran secara sadar ia pun memiliki ambisi untuk meraih kursi Republik Indonesia 1.
Ada berbagai kebijakan yang dikeluarkan Anies seperti contohnya masalah UMP dan penanganan Covid-19 yang tidak linier dengan kebijakan pemerintah pusat seolah menegaskan bahwa dirinya "berbeda".
Jika asumsi ini benar, cukup cerdik memang, menggunakan kebijakan sebagai kepala daerah untuk kepentingan politiknya ke depan.
Apakah dengan demikian, setiap kebijakan  Anies, selalu untuk kepentingan politiknya?
Ya engga juga, hanya saja ia pandai memanfaatkan situasi secara tak kasat mata yang secara politis tak bisa disalahkan apalagi secara hukum.
Namun tetap saja situasi membelah seperti saat ini akibat residu berbagai gelaran politik elektabilitas dalam 8 tahun terakhir seolah tak terhindarkan, bahkan mungkin hingga pemilu 2024.
Sebenarnya ini tak sehat bagi perkembangan demokrasi, tapi sepertinya dengan amplifikasi lewat media sosial keterbelahan masyarakat lantaran pilihan politik akan terus terjadi entah sampai kapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H