Dan saat itu posisi Anies terlihat  memihak Prabowo meskipun samar,  apalagi mantan wakilnya Sandiaga menjadi pasangan Prabowo sebagai cawapres.
Situasi ini memperkuat posisi Anies Baswedan dianggap sebagai tokoh oposisi. Apalagi kemudian Gerindra dengan Prabowo-Sandi-nya bergabung dengan Pemerintahan Jokowi pasca kalah dalam Pilpres 2019.
Ya sudah tak ada lagi tohoh oposisi yang bisa diharapkan menjadi simbol bagi oposisi, Anies Baswedan lah yang dianggap sebagai simbol "oposisi" paling kuat, apalagi secara konstan elektabilitasnya terus berada di tiga besar teratas.
Makanya,dengan situasi politik yang masih membelah seperti saat ini setiap kebijakan, tindakan dan keputusan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta selalu menjadi sorotan semua pihak.
Seperti halnya setiap kebijakan, tindakan, dan keputusan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pihak yang kontra dan banyak melakukan kritik terhadap setiap kebijakan Anies sebagai Gubernur jika diamati lewat unggahan di berbagai platform media sosial didominasi oleh mereka yang merupakan pendukung Jokowi dan Ahok dalam Pilkada DKI 2017.
Begitupun dengan pihak yang kontra terhadap Jokowi, didominasi oleh mereka yang saat ini mendukung Anies Baswedan.
Di luar itu, sama halnya dengan setiap kebijakan Jokowi, setiap kebijakan Anies Baswedan selalu di tarik-tarik ke ranah politik atau lebih tepatnya dipolitisasi.
Seperti misalnya dalam kasus kenaikan UMP 2021 tadi pihak Apindo menyebut keputusan Anies menaikan UMP diluar kesepakatan sebesar 5 persen tak lain dan tak bukan untuk kepentingan politik elektabilitas 2024 kelak.
Kemudian, masalah hajatan Formula E,berbagai kebijakan dalam penanganan banjir seperti naturalisasi sungai dan  sumur resapan atau penanganan pandemi Covid-19 termasuk urusan bansos di dalamnya, selalu dikaitkan dengan politik.
Hal serupa terjadi juga pada setiap kebijakan Jokowi, selalu ada pihak-pihak yang secara membabi buta menyalahkan terlepas kebijakan itu positif atau negatif.