Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Transjakarta, Antara Konsep Awal dan Kenyataan di Lapangan

8 Desember 2021   09:32 Diperbarui: 8 Desember 2021   10:16 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai pengguna aktif transportasi umum di wilayah Jabodetabek, saya merasakan benar hingga titik tertentu keberadaan Trans Jakarta membuat transportasi umum di Ibukota Jakarta menjadi lebih baik.

Secara konsep, Transjakarta ini lahir untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi warga Jakarta dalam menggunakan transportasi umum.

Saya merasakan betul bagaimana transportasi publik di Jakarta sebelum Transjakarta ada,saat itu angkutan umum di Jakarta, armadanya dikelola oleh swasta dan perorangan.

Untuk bus berukuran besar yang mendominasi adalah bus yang dikelola peusahaan daerah PPD dan milik swasta Mayasari Bhakti.

PPD dikenal dengan busnya yang bokbrok sementara Mayasari dikenal dengan pengemudinya yang ugal-ugalan  karena mereka harus berebut mengejar setoran.

Untuk bus berukuran kecil dan angkot, di dominasi oleh Metromini, Kopaja, dan Kopami  serta Mikrolet yang banyak dikelola oleh perseorangan tetapi dibawah naungan semacam koperasi.

Sama halnya dengan Mayasari, mereka cenderung ugal-ugalan, kecelakaan lalu lintas yang memakan korban jiwa cukup banyak kerap terjadi.

Di luar itu, mereka pun membuat lalu lintas lintas di jalanan ibukota bertambah semrawut, menjadi biang kemacetan lantaran menaikan dan menurunkan penumpang dimana saja.

Jangan tanya copet, pengamen, pedagang asongan pun berkeliaran dengan bebasnya di angkutan umum saat itu. Boro-boro nyaman, aman pun masih seperti utopia saat itu.

Atas dasar keprihatinan terhadap kondisi transportasi umum seperti itu, Bang Yos Gubernur DKI Jakarta Periode  1997-2007 meluncurkan konsep busway yang pertama pada tahun 2004, sepanjang 12,9 Km rute Kota-Blok M, yang kemudian konsep ini diteruskan  dan diperluas koridornya oleh para Gubernur DKI penerusnya, mulai dari Fauzi Bowo, Jokowi, Ahok hingga saat ini oleh Anies Baswedan.

Konsep awalnya, para ahli yang dimintai pendapatnya oleh Pemprov DKI, menyebutkan bahwa biang kesemrawutan angkutan umum di DKI adalah sistem setoran yang ditetapkan oleh para pemilik kendaraan, akibatnya pengemudi berusaha dengan segala cara untuk mengejar kuota setoran yang ditetapkan secara beragam.

Selain itu, pada masa sebelum Transjakarta, angkutan umum bisa menaikan dan menurunkan penumpang dimana saja.

Nah, konsep awal Transjakarta, sistem setoran dihapus, pengemudi akan diberikan gaji yang layak secara bulanan dan secara ketat mengatur halte untuk menaikan dan menurunkan penumpang.

Sepanjang hampir  18 tahun sejak pertama diluncurkan, busway yang kemudian disebut Transjakarta terus mengalami evolusi dalam hal konsep dan teknis pengoperasiannya.

Terakhir, konsepnya seluruh angkutan di wilayah DKI Jakarta harus dioperasikan oleh sebuah Badan Layanan Umum (BLU) yang bernama PT. Transjakarta Indonesia.

Secara umum memang konsep Transjakarta itu membuat transportasi publik menjadi membaik dibanding pada masa "bus kota" meskipun masih jauh dari harapan masyarakat.

Pelayanan dan operasional Transjakarta cenderung tidak stabil meskipun perbaikan standar operating procedure (SOP) nya terus dilakukan.

Salah satu buktinya adalah rentetan kecelakaan yang melibatkan armada Transjakarta dalam 2 bulan terakhir terus mengalami eskalasi.

Hari Senin (06/12/21) kemarin saja  ada tiga kecelakaan lalu lintas yang melibatkan bus Transjakarta.

Peristiwa pertama, bus Transjakarta menabrak separator busway di Jalan Pramuka sekitar pukul 04.30 WIB saat mencoba menghindari truk mixer.

Lalu kedua, bus Transjakarta menabrak tembok di Puri Beta sekitar pukul 09.10 saat ditinggal sopir untuk buang air kecil. Diduga sopir lupa menarik rem tangan.

Terakhir, bus Transjakarta menabrak seorang pejalan kaki di dekat Halte SMK 57, Jakarta Selatan, sekitar pukul 21.50 WIB, Senin (6/12). Akibatnya korban berinisial RH tersebut meninggal dunia.

Sebelumnya, Halte Polisi di kawasan Cawang Cililitan dihajar bus Trans Jakarta dan tabrakan antar bus Trans Jakarta  yang menimbulkan korban 3 orang tewas di Jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan.

Apa yang terjadi sebenarnya sehingga Transjakarta yang tadinya diharapkan menuntaskan dahaga publik untuk mendapatkan pelayanan angkutan umum yang nyaman dan aman menjadi sumber malapetaka?

Sejumlah pengamat transportasi menyebut bahwa faktor kelalaian manusia diduga jadi penyebab kecelakaan bus Transjakarta.

Sebenarnya faktor ini juga pernah disoroti saat rentetan kecelakaan yang melibatkan bus Transjakarta  terjadi pada tahun 2015 lalu.

Gubernur DKI saat itu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, meminta pihak pengelola memperbaiki SOP dalam mempekerjakan pengemudi yang bertugas di Transjakarta.

"Pastilah kalau masih pakai kontrak yang lama, sopir enggak bersertifikat dan sebagainya. Saya enggak mau mengulang 10 tahun awal transjakarta," ujar Ahok saat itu, seperti dilansir Medcom.id.

Mungkin SOP-nya sudah diperbaiki, tetapi seharusnya pembaruan sertifikasi terus dilakukan agar kapabilitas pengemudi bisa terus ter-up date.

Selain itu,  sangat mungkin terjadi perubahan kebijakan  sistem operasional perusahaan yang pada akhirnya memengaruhi operasional layanan Transjakarta.

Misalnya orientasi dari PT. Transjakarta lebih profit oriented. Dengan melakukan efesiensi diberbagai sisi terutama sumber daya manusia.

Apabila kita amati secara seksama, saat ini kita tak lagi menemukan ada petugas di dalam bus yang tengah beroperasi kecuali pengemudi, tak seperti awal Transjakarta beroperasi hingga tahun ke 15.

Saat itu setiap pengemudi bus didampingi oleh petugas lain yang mengatur dan mengawasi penumpang di dalam bus.

Entah apa perhitungan manajemen Transjakarta sehingga berkesimpulan bahwa petugas di dalam bus menjadi bagian dari yang dihilangkan keberadaan atas nama efesiensi 

Padahal jika kita mau jujur keberadaan petugas di dalam bus itu sangat penting apabila sesuatu terjadi saat bus berjalan.

Misalnya, jika ada kecopetan, pelecehan seksual di dalam bus saat berjalan, menyelesaikannya akan sulit.

Selain itu, menurut Serikat Pekerja Transjakarta keberadaan pendamping petugas di dalam bus, bisa mengingatkan pengemudi untuk memastikan keamanan, keselamatan dan kenyamanan penumpang.

"Beberapa contoh yang bisa jadi perhatian karena kejadian ini adalah, dengan tidak adanya lagi petugas di dalam bus yang seharusnya bisa menjadi pengingat bagi pramudi demi memastikan keamanan dan kenyamanan pelanggan di dalam bus menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan oleh perusahaan agar hal seperti ini tidak terjadi lagi," kata Jan Oratmangun Ketua Serikat Pekerja Transjakarta, seperti dilansir CNNIndonesia, Selasa (07/12/21).

Di luar itu, pengawasan terhadap operasional Transjakarta pun mulai tak sesuai SOP. Ketika rentetan kecelakaan terjadi barulah audit dilakukan.

Jadi ke depan seharusnya, PT. Transjakarta Indonesia tak melulu mengarah pada orientasi keuntungan belaka, melalui efesiensi kebablasan yang mengabaikan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan penumpang serta pengguna lalu lintas lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun