Jika ditanya siapa guru yang paling berpengaruh terhadap kehidupan saya, maka saya akan menyebut ia adalah ibu Iis guru saya semasa Sekolah Dasar di SD Brawijaya I Kota Sukabumi. Sosoknya sungguh sangat membekas di hati bukan hanya karena kemampuannya mengajar dan kecerdasannya melainkan keikhlasan, kewibawaan, dan keteladannya.
Beberapa kali selepas menjadi Alumni, saya bertemu beliau tak ada yang berubah dari sikapnya, ia tetap memandang saya seperti anaknya dengan penuh kasih sayang hingga titik tertentu ia memperlihatkan kewibawaannya sehingga saya masih dengan tekun mendengarkannya segala wejangannya yang menyejukan.
Pada masa 1980an atau mungkin masa-masa sebelumnya hingga kurang lebih awal tahun 2000-an, dalam penglihatan dan pengamatan saya, Guru merupakan sosok yang dianggap mulia dan agung, baik dilingkungan sekolahan atau pun lingkungan masyarakat umum.
Di sekolah, guru begitu dihormati dan diteladani oleh murid-muridnya. Di lingkungan masyarakat guru menjadi salah satu sumber rujukan baik dalam ucapan, perbuatan, dan pemikirannya.
Kondisi ini saya lihat sendiri di tengah masyarakat, lantaran kebetulan Ibu saya seorang guru. Hingga akhir hayatnya ia dikenal dan dihormati masyarakat dan para muridnya karena saat itu guru dianggap sebagai sosok yang mulia dan menjadi panutan bagi orang-orang yang berada disekitarnya.
Mengapa demikian, lantaran ungkapan Guru itu "Digugu lan Ditiru" benar-benar melekat kepada diri dan kehidupannya sehari-hari. Ia menjaga betul marwah profesinya sebagai guru, yang terkadang saking menjaganya ada situasi dimana kami anak-anaknya harus merasakan kepahitan.
Ungkapan itu tak hanya menjadi sebuah ungkapan tanpa makna, bahkan masyarakat tak akan melihat mata pelajaran apa yang diampu oleh guru tersebut, sepanjang dia seorang guru maka masyarakat akan sepakat bahwa dia bisa diandalkan.
Saya dari tadi menulis seolah itu terjadi dulu tidak hari ini, seolah ungkapan guru di gugu dan ditiru itu maknanya tak sedahsyat masa lalu. Mungkin itu bisa menjadi bahan introspeksi bagi para guru, yang menurut sebagian pendapat sudah mulai luntur frasa di gugu dan ditiru-nya.
Sebagian orang berpendapat, bahwa guru-guru saat ini menjalankan profesinya hanya sebatas untuk mengugurkan tugas, dan terjebak dalam rutinitas mengajar yang kadang dianggap minim akan pemaknaan.
Ungkapan Guru di gugu dan di tiru itu bukan perkara kaleng-kaleng, maknanya cukup dalam. Menurut sejumlah sumber bacaan yang saya dapatkan, digugu memiliki makna dipercayai sehingga berujung dipatuhi, sedangkan ditiru memiliki arti dikitu atau diteladani.
Jadi untuk menjadi seorang guru itu harus mampu mengaktualisasikan dua kata tersebut secara nyata. Segala penyampaian dari guru haruslah sebuah kebenaran berdasarkan keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga menumbuhkan keyakinan bagi siapapun terutama murid yang mendengarkannya.