Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Keterbelahan Politik yang Tak Ada Akhirnya

30 Juni 2021   10:42 Diperbarui: 30 Juni 2021   10:58 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiruk pikuk urusan politik di Indonesia belakangan termasuk "kritik" dari berbagai Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, polemik masalah kepegawaian Komisi Pemberantasan Korupsi, isu pembatalan ibadah haji,  hingga penanganan Covid-19, ujungnya selalu mengarah pada keterbelahan akibat Pemilihan Presiden 2014 dan 2019 lalu.

Sepertinya keterbelahan atau polarisasi berdasarkan pilihan politik saat itu antara 01 dan 02 tak akan pernah berakhir, apapun masalahnya selalu melibatkan cebong A.ka BuzzerRp dan kampret A.ka Kadrun.

Jadi ada semacam personifikasi, siapapun yang mengkritik pemerintah maka gelar kadrun akan disematkan padanya.

Siapapun yang membela pemerintah maka gelar cebong atau buzzerRp harus ditanggung oleh mereka.

Kalau meminjam istilah yang digunakan George W Bush, "You Either Us or Against Us" saat menyikapi peristiwa 9/11.

Jadi sama sekali tak memberi ruang untuk bersikap netral dalam menyikapi berbagai tindakan dan kebijakan pemerintah.

Netral disini artinya mengkritik jika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dianggap tak berpihak pada kesejahteraan dan rasa keadilan rakyat.

Namun, mendukung atau memberi apresiasi jika kebijakan yang dirilis pemerintah dianggap memberikan manfaat bagi kesejahteraan dan keadilan dalam berkehidupan di masyarakat.

Faktanya, di Indonesia saat ini ada pihak yang selalu saja mencari pembenaran seburuk apapun kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Jokowi. Seolah tingkah dan kebijakan yang diambil pemerintah saat ini tak pernah salah.

Dalam saat bersamaan  ada sejumlah kelompok yang terus menerus mencari celah kesalahan dari setiap kebijakan dan tindakan pemerintah Jokowi. Seolah tak ada satupun tindakan dan kebijakan pemerintah yang berkuasa saat ini yang benar, selalu salah.

Lebih parahnya lagi, kondisi ini seperti menghadap-hadapkan antara nasionalisme Pancasila dengan agama.

Padahal seharusnya 2 hal penting dalam kehidupan bermasyarakat itu bisa beriringan saling melengkapi satu sama lain

Kondisi seperti ini terpampang jelas jika kita mengamati media sosial di berbagai platform terutama di Twitter.

Saya mengamati pergerakan  berbagai isu yang potensial menimbulkan pro dan kontra di platform tersebut dan mendapati iramanya konstan seperti itu.

Jika isu yang lagi ramai menghantam pemerintah, seperti misalnya kritikan BEM UI Jokowi : The King of Lip Service, para pihak yang selama ini dikenal berseberangan dengan pemerintah ramai-ramai mendukung mereka yang melakukan kritik seolah ikut menari digenderang yang dibunyikan oleh mahasiswa tersebut.

Dan pihak pendukung pemerintah biasanya akan jeda sejenak sambil sesekali mengeluarkan narasi-narasi defensif.

Setelah beberapa saat, mereka yang mendukung pemerintah akan menguliti pihak -pihak yang menjadi sumber keributan itu dalam hal kasus BEM UI, Leon Ketua BEM UI menjadi sasaran tembak seluruh jejak digitalnya dikuliti, untuk membunuh karakternya agar terlihat busuk.

Pun demikian jika isu menghantam pihak yang berseberangan dengan pemerintah, seperti misalnya saat Rizieq Shihab tersandung kasus protokol kesehatan yang kemudian diikuti pula dengan pembubaran organisasi massa yang didirikaannya Front Pembela Islam (FPI).

Pihak yang selama ini berseberangan dengan mereka yang notebene-nya pendukung pemerintah ikut berjoget menggunakan irama yang dibunyikan oleh pemerintah.

Pihak yang berseberangan dengan pemerintah pun dalam posisi ini, biasanya akan bersikap defensif untuk kemudian akan menyerang balik dengan narasi-narasi mendiskreditkan pemerintah yang biasanya dikaitkan dengan agama tertentu.

Kejadian-kejadian seperti ini terus berlangsung, seolah keterbelahan atau polaritas itu sengaja dipelihara agar mereka yang berada di posisi elit negeri masih memiliki massa yang diharapkan dapat mendukung mereka untuk meraih kekuasaan.

Sepertinya mereka para elit baik dari pihak pemerintah dan oposisi memelihara keterbelahan ini agar terus abadi, malangnya masyarakat secara tidak sadar mengikuti irama yang mereka bunyikan.

Alhasil keterbelahan terus terjadi, tapi sejumlah pengamat politik menyebut hal ini merupakan konsekuensi dari demokrasi dan kehadiran teknologi internet dalam masalah ini media sosial yang mengambil peran penting dalam mengkondisikan polarisasi ini, sehingga membentuk kantong-kantong algoritma sesuai dengan keberpihakannya.

Mungkin dalam situasi negara yang lagi ribet menghadapi pandemi Covid-19 dan dampak yang diakibatkannya ada baiknya semua pihak menahan diri untuk tak membelah masyarakat.

Kita tak akan bisa kemana-mana kalau keterbelahan itu dipelihara terus. Kontestasi politik seharusnya selesai saat kita sudah mendapatkan siapa yang berhak memimpin bangsa ini secara demokratis.

Bersama-sama kita membangun negeri ini setelahnya, sesuai peran masing-masing. Mungkin saat ini pihak yang satu memimpin pihak yang lainnya, tetapi mungkin disaat lain pihak yang saat ini berseberangan dengan pemerintah akan berbalik memimpin negeri ini.

Itulah esensi dari demokrasi, memastikan pergantian kekuasaan secara konstitusional yang tujuannya membawa bangsa Indonesia menjadi lebih sejahtera gemah ripah loh jinawi.

Namun, tetap harus diingat siapapun yang memimpin negeri ini masih tetap manusia, yang bisa salah dan sangat mampu berbuat benar.

Tak puas ya kritiklah secara proporsional dengan cara-cara yang baik dan elegan, ya hukum lah dengan tidak memilihnya lagi di kontestasi politik berikutnya.

Jika puas dukunglah, beri apresiasi yang layak secara proporsional juga jangan membabi buta.

Bersikaplah lebih proporsional dalam hal keberpihakan secara politis, sehingga keterbelahan dimasyarakat untuk urusan politik tak bersifat abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun