Hiruk pikuk urusan politik di Indonesia belakangan termasuk "kritik" dari berbagai Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, polemik masalah kepegawaian Komisi Pemberantasan Korupsi, isu pembatalan ibadah haji, Â hingga penanganan Covid-19, ujungnya selalu mengarah pada keterbelahan akibat Pemilihan Presiden 2014 dan 2019 lalu.
Sepertinya keterbelahan atau polarisasi berdasarkan pilihan politik saat itu antara 01 dan 02 tak akan pernah berakhir, apapun masalahnya selalu melibatkan cebong A.ka BuzzerRp dan kampret A.ka Kadrun.
Jadi ada semacam personifikasi, siapapun yang mengkritik pemerintah maka gelar kadrun akan disematkan padanya.
Siapapun yang membela pemerintah maka gelar cebong atau buzzerRp harus ditanggung oleh mereka.
Kalau meminjam istilah yang digunakan George W Bush, "You Either Us or Against Us" saat menyikapi peristiwa 9/11.
Jadi sama sekali tak memberi ruang untuk bersikap netral dalam menyikapi berbagai tindakan dan kebijakan pemerintah.
Netral disini artinya mengkritik jika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dianggap tak berpihak pada kesejahteraan dan rasa keadilan rakyat.
Namun, mendukung atau memberi apresiasi jika kebijakan yang dirilis pemerintah dianggap memberikan manfaat bagi kesejahteraan dan keadilan dalam berkehidupan di masyarakat.
Faktanya, di Indonesia saat ini ada pihak yang selalu saja mencari pembenaran seburuk apapun kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Jokowi. Seolah tingkah dan kebijakan yang diambil pemerintah saat ini tak pernah salah.
Dalam saat bersamaan  ada sejumlah kelompok yang terus menerus mencari celah kesalahan dari setiap kebijakan dan tindakan pemerintah Jokowi. Seolah tak ada satupun tindakan dan kebijakan pemerintah yang berkuasa saat ini yang benar, selalu salah.
Lebih parahnya lagi, kondisi ini seperti menghadap-hadapkan antara nasionalisme Pancasila dengan agama.