Menurut kacamata saya salah satu hal yang bisa dijadikan tolok ukur kita memenangi Ramadan tahun 1442 Hijriah ini adalah kemampuan kita mengekang dan mengendalikan keinginan untuk mudik ke kampung halaman kita masing-masing.
Mudik dalam suasana normal  memang merupakan sebuah tradisi baik yang seyogyanya dianjurkan untuk dilakukan. Secara sosial mudik akan memberikan ruang bagi kita untuk bersilaturahmi dengan orang tua dan handai taulan, dan itu sangat baik.
Secara ekonomi, dampaknya terhadap aspek perekonomian rakyat pun nyata adanya, mudik menjadi berkah yang luar biasa bagi perekonomian di daerah, redistribusi aset terjadi yang membuat uang kota dirasakan pula oleh masyarakat pedesaan, ujungnya pertumbuhan ekonomi di daerah akan terdongkrak.
Itu dalam suasana normal, berbeda dengan kondisi seperti saat ini  di tengah suasana pandemi Covid-19 yang masih terus mengganas menerjang siapapun yang abai terhadap protokol kesehatan.
Secara etimologis, terdapat beberapa versi yang mengartikan kata mudik. Sebagai misal, Kemendikbud menuliskan bahwa mudik berasal dari bahasa Jawa ngoko, yakni mulih dilik, artinya pulang sebentar.Â
Namun, ada juga yang mengatakan bahwa mudik berasal dari kata "udik", yaitu kembali ke asal. Dua versi mudik diatas sama-sama mewakili tujuan dari mudik.
Dalam pelaksanaannya mudik dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam jumlah masif dan dalam waktu bersamaan.
Artinya potensi pelanggaran protokol kesehatan memang nyata adanya, mungkin mencuci tangan dan menggunakan masker bisa diadaptasi oleh para pemudik, tetapi menjaga jarak, mencegah kerumunan dan melakukan mobilitas sudah pasti dilanggar oleh para pemudik.
Hal tersebut dapat menimbulkan penularan virus corona menjadi semakin masif, apalagi virus hasil mutasi yang berasal dari India dan Afrika Selatan menurut Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin sudah masuk ke Indonesia.
Mudik dalam suasana pandemi Covid-19 potensial menularkan virus, itulah  mengapa Pemerintah Pusat melarang aktivitas mudik dilakukan pada Idul Fitri tahun 2021 ini, hal itu dilakukan semata-mata untuk.melindungi masyarakat secara keseluruhan.
Meskipun saya juga merasa komitmen pemerintah sepertinya kurang kuat dalam melakukan pelarangan mudik ini.
Buktinya ada sejumlah pengecualian termasuk dibukanya kedatangan pekerja migran dari luar negeri, dan masuknya sejumlah warga negara asing dari China.
Selain itu pemerintah terlihat kedodoran dalam mengkomunikasikan kebijakan  larangan mudik ini kepada publik, pemerintah gagal memberi pemahaman kepada masyarakat betapa berisikonya mudik dilakukan di tengah pandemi.
Namun demikian harus diingat pula sekeras apapun implementasi larangan pemerintah terkait mudik, tak akan berarti apapun jika masyarakat tak memiliki kesadaran dan mampu mengelola hasrat mudik mereka.
Kita bisa saksikan di berbagai media ribuan pemotor tetap mudik hingga dalam penyekatan di wilayah perbatasan Cikarang-Karawang terdapat penumpukan arus pemudik.
Mudik dalam situasi pandemi, itu bukan tindakan bijak. Bayangkan menurut Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto pihaknya telah melakukan tes acak terhadap sekitar 6 ribu orang di pos penyekatan mudik.
"Pengetatan oleh Polri di 381 lokasi dan Operasi Ketupat. Jumlah pemudik random testing dari 6.742, konfirmasi positif 4.123 orang," katanya Seperti.yang dilansir CNNIndonesia. Senin  (10/05/21).
Jika ini benar, seharusnya masyarakat bisa menahan diri untuk melakukan perjalanan mudik, risikonya sangat besar bagi kesehatan dan keselamatan diri sendiri, orang tua, handai taulan, dan masyarakat pada umumnya.
Mudik yang tadinya menjadi sarana redistribusi aset, jika dilakukan saat pandemi bisa jadi malah menjadi redistribusi virus.
Toh esensi dari mudik Lebaran adalah silaturahmi. Perjalanan dari rantau ke kampung halaman adalah formalitas
Kendati tidak langsung mudik, namun silaturahmi bisa dilakukan via daring. Tentu saja, banyak yang luput dari aktivitas daring, namun di masa pandemi, itulah pilihan paling masuk akal.
Buktikan bahwa kita memang mampu memenangi perang melawan hawa nafsu selama Ramadan, dengan mengendalikan nafsu kita untuk mudik.
Bukankah pengendalian hawa nafsu merupakan nilai utama dari menjalani ibadah puasa sepanjang Ramadan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H