Telegram Kapolri nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 terkait dengan kegiatan kehumasan di lingkungan kewilayahan Korps Bhayangkara, yang dirilis Senin (05/04/21) sempat menuai kontroversi dan ramai menjadi bahan perbincangan.
Telegram yang sebenarnya ditujukan bagi kegiatan fungsi kehumasan di internal Polri ini, tiba-tiba saja menjadi polemik setelah media daring memberitakan bahwa kata"media" dalam telegram tersebut ditujukan bagi keseluruhan media nasional.
Adapun telegram Kapolri itu berisi 11 poin, dan poin yang kemudian disalahartikan itu ada di poin satu yang bunyinya, seperti yang saya kutip dari laman Kompas.TV.
"Media dilarang siarkan updaya/ tindakan kepolisian yang tampilkan arogansi dan kekerasan."
Saya kemarin sempat kaget juga ketika pertama membaca kepala berita di salah satu laman berita daring, yang judulnya kurang lebih "Media dilarang tampilkan tindakan arogansi aparat kepolisian".
Beuh bombastis sekali kan? Andai saja asumsi media daring itu benar, Polri bakal menjadi bulan-bulanan bullying warganet +62 paling sedikit selama seminggu lah.
Terus saja coba cari tahu, apa sih sebenarnya isi dari Telegram Kapolri tersebut. Untungnya ada sejumlah media daring yang memberitakan secara lengkap isi dari Telegram tersebut.
Dan ternyata menurut pemahaman saya itu ditujukan "hanya"untuk kegiatan internal Kehumasan di seluruh Kepolisian Republik Indonesia.
Lah terus kenapa harus ramai dan dipermasalahkan, setiap organisasi kan urusan kehumasannya bisa berbeda-beda, batasan ini itu ya biasa saja.
Saya sih menduga itu bisa-bisanya jurnalis yang menulis berita tersebut agar memperoleh viewer seabreg.Â
Namun bisa juga karena dibaca sekilas jadinya pemahaman sang jurnalis tak lengkap, karena memang redaksi kalimat-kalimat dalam telegram tersebut puntak terlalu jelas, ditujukan kepada siapa, kalimat "media" itu, Â sangat mungkin terjadi salah tafsir dalam pelaksanaannya.