Kedua, karena turunnya permukaan tanah di wilayah Jakarta yang disebabkan oleh eksploitasi  air tanah besar-besaran. Rata-rata penurun tanah di DKI Jakarta sekitar 3-18 cm pertahun.
Kondisi ini bertambah memburuk di Jakarta Utara yang berbatasan dengan laut. Tinggi permukaan tanah di wilayah ini 1,5 meter lebih rendah dari permukaan air laut sebagai dampak perubahan iklim. Akibatnya aliran air dari hulu (Bogor dan Depok) pun tidak dapat terbuang ke laut.
Ketiga, Saluran dan tangkapan air (waduk, sungai, kanal banjir, drainase dan ruang terbuka hijau) yang ada kapasitasnya kurang untuk menampung volume air yang besar akibat curah hujan yang ekstrem.
Aliran dan sempadan sungai menyempit karena sebagian sungai di Jabodetabek mengalami pendangkalan. Beberapa daerah resapan dan waduk juga kurang maksimal karena berubah fungsi.
Hal ini lah yang kemudian menjadi polemik lantaran Gubernur Anies terkesan enggan meneruskan kebijakan yang sudah dicanangkan dan dilakukan oleh pendahulunnya karena alasan politik.
Ia sepertinya berusaha mengganti istilah normalisasi sungai menjadi naturalisasi sungai yang tak jelas implementasinya.
Bahkan menurut anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Fraksi PAN, Zita Anjani seperti dilansir Detik.Com.
Dalam 3 tahun terakhir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak fokus dalam mengatasi masalah banjir. Ia menyebutkan Anis terbelenggu oleh janji politiknya saat kampanye.
Anies tak mau melakukan normalisasi sungai seperti yang dilakukan pendahulunya karena harus melakukan penggusuran warga di bantaran sungai, padahal jika normalisasi sungai ingin dilakukan adalah sebuah keniscayaan untuk merelokasi warga yang tinggal di bantaran kali tersebut.
Memang Pemprov DKI melakukan pengerukan sungai-sungai di Jakarta tapi tanpa melakukan normalisasi tetap tak akan memadai dibandingkan debit rata-rata air saat banjir tiba.
Kapasitas sungai di DKI saat ini menurut Zita hanya 950 m3 per detik, sedangkan air ketika saat banjir tiba rata-rata 2.100 hingga 2.650 m3 per detik.