"Semua wanita Muslim ingin bertaqwa dan taat kepada Allah SWT dan suaminya. Untuk berkenan di mata Allah dan suami, Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih."
Itu kalimat yang tertulis dalam situs Aisha Weddings yang mempromosikan pernikahan dalam beragam format dengan mengatasnamakan ajaran agama.
Lantas mereka menambahkan di bawahnya "jangan tunda pernikahan karena keinginan egoismu, tugasmu sebagai gadis adalah melayani kebutuhan suamimu"
Ada beberapa kalimat lain yang berkaitan dengan pernikahan sirri dan poligami yang menjadi bagian dari pelayanan Wedding Organizer Aisha Weddings ini, dan semua bagian itu disertai dengan ayat-ayat Al Quran yang dinilai mendukung itu.
Membaca promosi ini yang kemudian menjadi viral di dunia maya, membuat saya terhenyak bukan buatan. Sekali lagi agama di monetasi buat kebutuhan ekonomi sekelompok orang, meskipun saya meyakini bukan ekonomi an sich yang disasar oleh mereka, ada gerakan penyebaran paham tertentu dan jika diperhatikan ini bergerak dihampir semua lini kehidupan.
Tentunya kita masih ingat tentang  penggunaan Dinar dan Dirham dalam transaksi di Pasar Muamalah Depok beberapa waktu lalu. Dalih yang digunakan serupa mengikuti Sunnah Rasulallah SAW.
Dan jangan salah selain dipromosikan secara jelas dan terang seperti yang dilakukan oleh WO tersebut, ada pula gerakan mereka yang menyusup di mesjid-mesjid kampus, bahkan kajian pernikahan dalam beberapa tahun belakangan menjadi tren di sejumlah masjid kampus.
Menurut beberapa teman alumni mesjid kampus, kader-kader mesjid kampus ini rajin menyambangi sekolah-sekolah menengah untuk memberi kajian, mereka ini mencoba menggiring opini bahwa menikah cepat itu keren dan menjadi sebuah prestasi.
Diluar kampus, mungkin belakangan kita akrab dengan istilah "hijrah". Kita menyaksikan atau mendengar mulai dari selebritis hingga pegawai negeri dan berbagai kalangan muda menahbiskan dirinya telah "berhijrah".
Bahasa yang mereka pergunakan menurut sejumlah sumber yang saya baca dan dengar adalah bahasa milik Sayyid Qutb seorang ideolog gerakan Ikhwanul muslim, bahwa kini mereka keluar dari kejahiliahan menuju praktik ajaran Islam sebenarnya.
Meskipun makna hijrah awalnya berkonotasi perpindahan ruang spasial, karena orang-orang bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain, tetapi kemudian muncul pemaknaan moral yang mengacu pada kondisi-kondisi moral yang dialami Rasulallah SAW saat melakukan hijrah dari Mekah menuju Madinah.