Tudingan ini sebenarnya tak terlalu salah, menurut National Retail Federation (NRF) and Prosper Insight & Analytics, asosiasi pengusaha ritel di Amerika Serikat untuk merayakan hari valentine 2021 masyarakat AS diperkirakan akan menghabiskan uang sebesar US$ 21,8 milyar atau setara Rp. 305,2 triliun meskipun di tengah pandemi.
Sementara di Indonesia, Hari Valentine hampir selalu membangunkan polemik, media sosial akan dipenuhi dengan ungkapan pro dan kontra dalam pemaknaan 14 Februari sebagai hari kasih sayang.
Pihak yang kontra sepertinya selalu mempersiapkan diri untuk mengecam hingga melakukan sweeping karena menganggap Hari Valentine sebagai tindakan yang menggambaran ekspresi agama tertentu.
Sampai pada titik tertentu kemudian dianggap melahirkan tindakan melawan norma sosial, norma agama, hingga norma budaya kita.
Sementara bagi mereka yang mengambil peran  dan menafsirkan bahwa 14 Februari layak untuk dirayakan sebagai hari kasih sayang bukan berarti mereka membenarkan, memberi pengakuan atau penghambaan pada duka cita kematian sang Santo.
Karena pemaknaan terhadap praktik perayaan valentine saat ini sudah jauh dari mitos tersebut. Seremoni valentine sejauh ini telah bertrasformasi dan berasimilasi hingga membentuk makna baru dalam nalar masyarakat.
Begitu banyak yang merasa perlu merayakan 14 Februari sebagai hari kasih sayang, tapi saya yakin apapun agamanya mereka tak mendedikasikan perayaan ini sebagai penghormatan terhadap kematian Santo Valentine.
Mereka hanya mencoba memungut makna cinta yang tertinggal dari Valentine, yang jika disikapi dengan lebih fresh minded bisa dimanfaatkan untuk mengkontruksi nilai-nilai cinta dengan cara pandang yang lebih elegan.
Agar kita mampu menyelami konsep cinta yang lebih dalam dan memaknainya lebih dari sekedar pemaknaan picisan ala muda-mudi yang dimabuk cinta.
Bagi saya pribadi yang pernah hidup di era dimana perayaan valentine tak pernah menjadi polemik. Cinta yang termanifestasikan dalam perayaan hari kasih sayang tersebut seharusnya bisa membebaskan.
Karena sejatinya pro dan kontra yang lahir dari pemaksaan opini dan kehendak, baik berupa larangan atau ajakan merayakan hari valentine sudah dapat dipastikan merongrong hakikat cinta dan kebebasan itu sendiri.