Donald Trump merupakan sebuah anomali dalam demokrasi AS yang dikenal sangat tertib penuh tradisi. Tak ada satu pun capres yang kalah dalam pilpres bertindak dan berlaku seperti Trump meskipun kekalahannya sangat tipis.
Tentunya kita masih ingat pada pilpres 2016 saat Donald Trump  berhadapan dengan Hillary Clinton mayoritas suara penduduk AS lebih memilih Hillary, namun secara electoral college Trump menang.
Hillary tak mencari-cari kesalahan atau membuat teori konspirasi apapun meski ia terlihat sekali sangat marah atas upaya Trump dan komplotan Rusia-nya, terkait penyebaran email yang merugikan Hillary 2 hari menjelang hari pemilihan.
Ia tetap menerima kekalahannya dengan elegan, dan hadir dalam pelantikan Trump sebagai Presiden AS. Jauh berbeda dengan Trump yang memang tak pernah mau menerima kekalahan dari siapapun.
Trump itu seorang hedonis sejati yang mengganggap orang lain tak lebih penting dan hebat dibanding dirinya, ia sosok yang egois atau bisa disebut megalomaniak. Makanya oleh pemerhati politik global ia disebut sebagai demagog demokrasi.
Seperti yang diungkapkan oleh Francis Fukuyama Profesor Ekonomi Politik Stanford University, dalam bukunya berjudul Identity, The Demand for Dignity and The Politic Resentment.Â
Ia menyebutkan Donald Trump merupakan penjelmaan sempurna dari seorang demagog yang lahir dari kelompok-kelompok kepentingan kuat dan terkunci dalam struktur kaku yang tidak dapat mereformasi dirinya sendiri.
Secara etimologis demagog berasal dari bahasa Yunani yaitu Demos yang berarti rakyat dan agogos memiliki arti penghasut.
Ssmentara definisi demagog menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penggerak atau pemimpin rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk kepentingan kekuasaannya.
Maka demagog dapat diartikan sebagai pemimpin penggerak politik yang pandai mempengaruhi rakyat untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan.
Para demagog itu mengklaim dirinya memiki hubungan kharismatik langsung dengan rakyat. Rakyat dalam kacamata para demagog itu didefinisikan secara sempit berdasarkan sentimen rasisme terkadang keagamaan atau hal-hal berbau keberpihakan lain yang mengesampingkan toleransi antar umat manusia.