Di Yogyakarta pun demikian 3 SMP Negeri  masing-masing SMPN 5,7, dan 11 pihak sekolahnya mengintruksikan hal yang serupa.
Geger kontroversi wajib jilbab ini terus berulang hingga saat ini, padahal jelas sekali dalam Peraturan Menteri No. 45 tahun 2014 pasal 3 ayat 4, memang diberi kewenangan untuk  mengatur pakaian seragam murid-muridnya. Namun sekolah harus "tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing".
Melalui peraturan ini sebenarnya ingin memberi ruang bagi siswi muslim yang ingin mengenakan jilbab dijamin haknya oleh negara.
Bukan berarti sekolah harus mewajibkan siswinya mengenakan jilbab, atau  melarang penggunaan jilbab seperti kejadian yang pernah terjadi di Manokwari dan di Bali pada 2019 lalu.
Siswa dan siswi memiliki kebebasan untuk mengenakan seragam sesuai dengan keyakinannya sepanjang menuruti aturan seragam dalam Permendikbud tersebut.
Untuk itu menurut saya  pihak Kemendikbud harus memberi penegasan bila perlu mengambil alih otoritas penentuan seragam sekolah untuk memastikan tak ada pemaksaan berbalut simbol keagamaan.
Jangan sampai wajib jilbab dan pelarangan jilbab oleh institusi pendidikan dibiarkan seperti saat ini karena bisa saja menimbulkan masalah yang lebih berat.
Jangan jadikan mayoritas penduduk disekitarnya sebagai tameng kebijakan mewajibkan dan melarang penggunaan jilbab.
Bahkan seharusnya bagi siswi muslim pun tak perlu ada keharusan untuk mewajibkan penggunaan jilbab jika ia memang sekolah di insitusi milik pemerintah.
Sekolah milik negara di wilayah mayoritas muslim, tidak bisa atas namakan menghormati mayoritas lalu memaksa murid berjilbab. Sekolah di wilayah mayoritas non muslim, tidak boleh memaksa murid melepas jilbab. Hak warga atas pendidikan tidak dibatasi oleh pakaiannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H