Kabar kepulangan Rizieq Shihab ke Indonesia pada 10 November 2020 ditanggapi beragam oleh masyarakat Indonesia.Â
Para pengikut setianya yang tergabung dalam Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai organisasi afiliasinya tentu saja akan bersuka cita dengan kedatangan sang Imam Besar tersebut.
Pemerintah Indonesia dalam kondisi ini hanya bisa mewanti-wanti agar segala acara penyambutan yang dilakukan harus tertib dan mematuhi protokol kesehatan mengingat saat ini tengah dalam masa pandemi Covid-19.
Bagi sebagian masyarakat lain, rasa was-was dengan kembalinya Rizieq Shihab ke Indonesia mulai terasa. Was-was di sini bukan takut sebenarnya tapi khawatir kegaduhan di ruang publik bakal makin menjadi.
Seperti diketahui Rizieq Shihab dan FPI-nya kerap kali bertindak dan berkata dengan kalimat penuh arogansi keagamaan.
Mereka kerap menimbulkan kegaduhan dengan cara yang agresif hanya karena cara pandang beragama orang lain berbeda dengan cara pandang mereka dalam memaknai agama, meskipun itu sesama muslim.
Apalagi jika berhadapan dengan warga non-muslim, mereka tak segan mengkafir-kafirkan pihak lain yang berbeda pandangan dengan mereka.
Terakhir masalah Perancis dengan karikatur satirnya serta sikap Emanuele Macron dalam menyikapi situasinya.
Sudah 2 kali mereka berdemo dan menyatakan memboikot produk-produk negara itu. Dengan bahasa-bahasa yang cukup keras, bak mengobarkan perang.
Pola FPI dalam menyampaikan sesuatu hal itu tak lepas dari bahasa Rizieq Shihab ketika "berdakwah", keras dan kasar penuh retorika kebencian.
Padahal dakwah itu hakikatnya adalah menyeru dan mengajak pada kebaikan, bukan memaksa apalagi menginjak-nginjak dan menjadikan aktivitas dakwah itu sebagai sarana menghina pihak yang tak sehaluan secara verbal.
Dakwah yang baik itu harus seperti air, dinamis, adaptif namun tak pernah kehilangan jati dirinyaÂ
Ingat, idealisme sebuah agama itu selalu berkaitan dengan nilai-nilai kasih sayang, perdamaian, kerukunan, dan kesetaraan.