Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyoal Seruan "Pembangkangan Sipil" karena UU Cipta Kerja

23 Oktober 2020   10:09 Diperbarui: 23 Oktober 2020   13:35 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisa saja hal ini ditanggapi oleh masyarakat penolak UU Ciptaker sebagai seruan untuk melakukan social unrest yang akan berujung pada chaos.

Masyarakat di akar rumput sangat mungkin tak memiliki penalaran seperti penalaran mereka dalam memaknai kata pembangkangan sipil tersebut.

Belum lagi ada penyusup-penyusup politik yang akan menggoreng isu pembangkangan sipil ini sedemikian rupa, sehingga maksud yang ingin disampaikan oleh sejumlah kalangan intelektual ini berbelok arah menjadi huru-hara.

Andai hal ini terjadi, apakah mereka dapat mempertanggungjawabkannya? Jangan-jangan nantinya mereka akan langsung cuci tangan seolah tak tahu menahu urusan ini.

Jika kemudian mereka ditangkap aparat hukum, sudah hampir dapat dipastikan mereka akan berujar, "Wah pemerintah Jokowi otoriter, kami kan hanya berpendapat."

Bersembunyi di balik berbagai UU tentang kebebasan berpendapat.

Sebenarnya mahluk apa sih pembangkangan sipil ini?

Menurut beberapa litelatur, istilah Pembangkangan sipil atau civil disobedience ini pertama kali dipergunakan oleh Henry David Thoreau dalam esainya yang ditulis pada tahun 1884.

Esai itu merupakan penjelasannya terkait penolakannya terhadap pajak yang dikenakan kepada rakyat Amerika untuk membiayai perang di Meksiko dan untuk memperluas praktik perbudakan melalui UU Perbudakan.

Namun dalam perjalanannya, definisi pembangkangan sipil yang lebih bisa diterima secara luas ditulis oleh Profesor filosofi Harvard University, John Rawls dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Teori Keadilan.

Menurut John, pembangkangan sipil ialah sebuah gerakan tanpa kekerasan yang dilakukan dengan hati-hati dengan tujuan untuk membawa perubahan dalam hukum atau kebijakan pemerintah.

Sementara menurut pengacara Hak Azasi Manusia Alghiffari Aqsa gerakan pembangkangan sipil yang dilakukan secara massal ini dilakukan secara teroganisir yang bisa jadi mampu melawan hukum atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Jika tindakan tersebut kemudian berimplikasi secara hukum maka mereka yang melakukannya harus bersedia menerima konsekuensinya, untuk menunjukan bahwa mereka memang setia terhadap supremasi hukum.

Jika memang mereka bersetia terhadap supremasi hukum, kenapa tidak mengajukan judicial review saja ke Mahkamah Konstitusi (MK) seperti yang diatur dalam UUD jika ada dispute masalah Undang-Undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun