Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Berpikir Realistis dalam Menyikapi Kontroversi UU Cipta Kerja

6 Oktober 2020   12:35 Diperbarui: 7 Oktober 2020   07:40 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang sudah disahkan menjadi UU oleh DPR RI Senin (5/10/20) kemarin, bisa jadi merupakan salah satu peristiwa legislasi paling kontroversial dalam sejarah pembuatan undang-undang di Indonesia.

Drama demi drama terus berlangsung dari awal rencana penyusunan RUU ini hingga setelah disahkan menjadi UU. 

Dimulai dari istilah Omnibus Law yang digunakan sebagai konsep perubahan undang-undang yang telah ada dengan menyederhanakan berbagai aturan hukum ke dalam sebuah undang-undang.

Konsep Omnibus Law sendiri baru pertama kali digunakan dalam proses legislasi sebuah aturan di Indonesia. Biasanya konsep ini kerap digunakan di berbagai negara yang menganut sistem hukum common law.

Konsep omnibus law ini nilai lebihnya adalah waktu dan biaya pembahasannya lebih singkat dan murah dibandingkan dengan mengubah satu per satu undang-undang.

Terdapat 2 klaster besar RUU lain selain UU Ciptaker dengan konsep Omnibus Law yang kini tengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, yakni RUU tentang ketentuan fasilitas perpajakan untuk penguatan ekonomi dan RUU tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan.

Dalam konsep Omnibus Law pemerintah bersama DPR berupaya menyederhanakan 79 UU dan 1288 pasal yang dibagi menjadi 11 klaster, yakni:
- Penyederhanan perizinan pertanahan,
- Persyaratan investasi,
- Kemudahan dan perlindungan UMKM,
- Kemudahan berusaha,
- Dukungan riset dan inovasi,
- Administrasi pemerintahan,
- Pengenaan sanksi,
- Pengendalian lahan,
- Kemudahan proyek pemerintah,
- Kawasan ekonomi khusus (KEK), dan
- Penyederhanaan berbagai aturan dalam UU ketenagakerjaan.

UU Ciptaker sendiri terdiri dari 15 bab dan 174 pasal. Setelah disahkan akan memperbaiki sejumlah aturan hukum yang telah ada, di antaranya UU nomor 44 tahun 1999 tentang kehutanan, UU nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, hingga UU nomor 31 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Oleh pemerintah dan DPR, UU Ciptaker diharapkan akan memperluas lapangan pekerjaan yang sangat dibutuhkan masyarakat melalui berbagai penyederhanaan dan perubahan UU yang selama ini dianggap menjadi penghalang bagi terciptanya lapangan kerja baru.

Seperti dipahami bahwa lapangan kerja baru akan terbentuk manakala pengusaha dan investor membuka sebuah usaha tertentu baik itu di sektor manufaktur maupun jasa.

Nah, yang menjadi permasalahan tak hanya berupa substansinya saja. Sejak awal proses pembahasan UU Ciptaker, oleh sebagian pihak dianggap tak sesuai fatsun penyusunan UU yang harus melibatkan para pemangku kepentingan.

Seperti yang diungkapkan oleh Pusat Kajian Anti Korupsi PUKAT Universitas Gadjah Mada lewat akun Twitter @PUKAT_UGM.

"Secara proses RUU Cipta Kerja dirumuskan secara tidak transparan dan minim partisipasi publik. Sejak awal penyusunannya, RUU Cipta Kerja dikritisi karena minimnya keterbukaan dan partisipasi publik"

Menurut PUKAT, akses publik terhadap draft RUU Ciptaker sangat terbatas, akses publik terhadap draft RUU baru terbuka setelah RUU selesai dirancang oleh pemerintah dan DPR. Hal tersebut menjadikan RUU rawan disusupi kepentingan tertentu yang hanya menguntungkan segelintir pihak saja.

PUKAT juga mengklaim bahwa penggunaan konsep Omnibus Law yang tak dikenal dalam sistem hukum Indonesia sehingga menimbulkan ketidakjelasan apakah ini merupakan penyusunan UU baru atau UU perubahan.

Selain itu mereka menganggap RUU Ciptaker bukan solusi atas masalah tumpang tindihnya regulasi di Indonesia.

Selain urusan konsep dan teknis penyusunan, yang lebih mengemuka menjadi bahan kontroversi di masyarakat adalah masalah substansi dan konten yang terkandung dalam UU Ciptaker, terutama di klaster ketenagakerjaan.

Sejumlah pihak terutama organisasi perburuhan mengancam akan melakukan demostrasi besar-besaran dan mogok nasional dengan melibatkan 2 juta buruh di seluruh Indonesia jika pemerintah dan DPR tak membatalkan UU Ciptaker yang baru disahkan tersebut.

Poin-poin terkait pasal mana saja yang menjadi bahan kontroversi banyak bertebaran di berbagai media baik media arus utama maupun media sosial, jadi saya tak perlu lagi membahasnya di sini.

Dari urusan kontrak kerja, upah minimum, pesangon hingga outsourcing. Intinya jika UU ini jadi diundangkan maka kerugian besar akan berada di pihak buruh.

Padahal menurut pandangan saya, mungkin saja mereka belum membaca secara komprehensif butir per butir dalam dokumen final undang-undang tersebut.

Membaca sebuah undang-undang secara menyeluruh dan kemudian memahami bukanlah sesuatu yang mudah di Indonesia. Jadi bahan evaluasi pula untuk pembuat UU agar diksi yang digunakan bisa dipahami dengan mudah oleh masyarakat umum.

Kontroversi tentang UU Ciptaker ini menjadi bertambah ramai karena dikompori berbagai pihak. Seolah menghadap-hadapkan antara pengusaha dan para pekerja. UU omnibus law dianggap mencederai dan menambah derita kaum buruh dan justru menggelar karpet merah bagi pengusaha dan investor.

Padahal seharusnya mereka itu kan bersinergi menjadi sebuah simbiosis mutualisma, jika pengusaha atau investor tak diberi aturan yang bersahabat dan mudah serta aturan hukum yang jelas mana mungkin mereka mau berinvestasi atau berusaha di Indonesia.

Tanpa mereka membuka usaha maka lapangan pekerjaan tak akan tercipta. Namun tentunya pihak pengusaha pun tak boleh serakah dan memperlakukan para pekerjanya secara semena-mena.

Makanya pemerintah kemudian membuat aturan baru yang tercakup dalam UU Ciptaker ini. Tentu saja aturan ini tak sempurna dan tak mampu menyenangkan semua pihak. Ini semua merupakan jalan tengah yang diambil hasil kompromi semua pihak yang berkepentingan.

Saya rasa tak ada niat dari pemerintah untuk merugikan buruh dan lebih menguntungkan pengusaha.

Persepsi itu dibangun oleh mereka yang takut kehidupannya secara ekonomi terganggu, ditambah dikompori oleh sejumlah pihak yang memang kerap berseberangan dengan pemerintah.

Undang-Undang ini dibuat agar rakyat Indonesia dapat menggapai kesejahteraan seperti yang dicita-citakan bersama. 

Bukan hanya buruh yang menjadi rakyat Indonesia, pengusaha dan investor dalam negeri pun merupakan rakyat Indonesia maka keduanya harus diayomi oleh pemerintah.

Jika undang-undang tersebut terlalu memihak buruh maka pengusaha mungkin akan berpikir berkali-kali untuk membuka lapangan kerja di negeri ini.

Namun, jika undang-undang tersebut terlalu memihak pengusaha maka kesejahteraan dan kenyamanan buruh dalam bekerja tak akan tercapai, akibatnya kewajiban pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya menjadi jauh panggang dari api.

Saat ini lebih baik kita ikuti dulu saja aturannya, sambil melihat praktknya di lapangan terkait UU Ciptaker itu seperti apa.

Toh segala yang ditakutkan itu baru berupa asumsi, bukan fakta yang sudah terjadi. Jika kemudian ternyata benar asumsi tersebut gugat saja UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi, tak perlu mogok kerja atau berdemonstrasi di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

Kondisi ini bakal memperburuk keadaan semua pihak, apalagi situasi saat ini sudah sangat buruk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun