Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang sudah disahkan menjadi UU oleh DPR RI Senin (5/10/20) kemarin, bisa jadi merupakan salah satu peristiwa legislasi paling kontroversial dalam sejarah pembuatan undang-undang di Indonesia.
Drama demi drama terus berlangsung dari awal rencana penyusunan RUU ini hingga setelah disahkan menjadi UU.Â
Dimulai dari istilah Omnibus Law yang digunakan sebagai konsep perubahan undang-undang yang telah ada dengan menyederhanakan berbagai aturan hukum ke dalam sebuah undang-undang.
Konsep Omnibus Law sendiri baru pertama kali digunakan dalam proses legislasi sebuah aturan di Indonesia. Biasanya konsep ini kerap digunakan di berbagai negara yang menganut sistem hukum common law.
Konsep omnibus law ini nilai lebihnya adalah waktu dan biaya pembahasannya lebih singkat dan murah dibandingkan dengan mengubah satu per satu undang-undang.
Terdapat 2 klaster besar RUU lain selain UU Ciptaker dengan konsep Omnibus Law yang kini tengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, yakni RUU tentang ketentuan fasilitas perpajakan untuk penguatan ekonomi dan RUU tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan.
Dalam konsep Omnibus Law pemerintah bersama DPR berupaya menyederhanakan 79 UU dan 1288 pasal yang dibagi menjadi 11 klaster, yakni:
- Penyederhanan perizinan pertanahan,
- Persyaratan investasi,
- Kemudahan dan perlindungan UMKM,
- Kemudahan berusaha,
- Dukungan riset dan inovasi,
- Administrasi pemerintahan,
- Pengenaan sanksi,
- Pengendalian lahan,
- Kemudahan proyek pemerintah,
- Kawasan ekonomi khusus (KEK), dan
- Penyederhanaan berbagai aturan dalam UU ketenagakerjaan.
UU Ciptaker sendiri terdiri dari 15 bab dan 174 pasal. Setelah disahkan akan memperbaiki sejumlah aturan hukum yang telah ada, di antaranya UU nomor 44 tahun 1999 tentang kehutanan, UU nomor 32 tahun 2009Â tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU nomor 5 tahun 1960Â tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, hingga UU nomor 31 tahun 2003Â tentang ketenagakerjaan.
Oleh pemerintah dan DPR, UU Ciptaker diharapkan akan memperluas lapangan pekerjaan yang sangat dibutuhkan masyarakat melalui berbagai penyederhanaan dan perubahan UU yang selama ini dianggap menjadi penghalang bagi terciptanya lapangan kerja baru.
Seperti dipahami bahwa lapangan kerja baru akan terbentuk manakala pengusaha dan investor membuka sebuah usaha tertentu baik itu di sektor manufaktur maupun jasa.
Nah, yang menjadi permasalahan tak hanya berupa substansinya saja. Sejak awal proses pembahasan UU Ciptaker, oleh sebagian pihak dianggap tak sesuai fatsun penyusunan UU yang harus melibatkan para pemangku kepentingan.