Jadi bagaimana, ya itu tadi pemerintah Jokowi terlihat sangat bingung memilih mana yang prioritas antara ekonomi dan kesehatan. Dimakan bapak mati, tak dimakan ibu yang mati.
Walaupun secara verbal dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi menyebutkan bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat menjadi prioritas utamanya.
Berbagai upaya memang telah dilakukan untuk menyeimbangkan agar keduanya tak rusak sscara fatal. Angka terinfeksi melonjak dan perekonomian tak terkontraksi sangat dalam.
Seperti misalnya dengan menggelontorkan anggaran yang cukup besar untuk bantuan sosial agar daya beli masyarakat masih bisa tetap terjaga sementara mereka tak melakukan aktivitas ekonomi.
Secara makro tindakan pemerintah ini diharapkan dapat menahan laju kontraksi ekonomi Indonesia. Pola belanja pemerintah Indonesia yang Counter Cyclical juga menjadi harapan lain untuk menahan perekonomian Indonesia masuk jurang resesi.
Artinya ketika ekonomi masyarakat melemah pemerintah akan tancap gas melalui belanja Kementerian dan lembaga-lembag negara lainnya serta pemerintah daerah.
Sebaliknya, Jika perekonomian masyarakat sedang kencang belanja pemerintah akan di rem.
Namun pola belanja pemerintah seperti ini pun tak bisa berjalan secara smooth sesuai teori, karena dalam perjalanannya hampir seluruh kementerian dan lembaga hingga Pemda tak mau membelanjakan itu karena birokrasinya terlalu ribet salah-salah di ujungnya bisa masuk penjara.
Mereka bukan tak mau membelanjakan anggaran sebenarnya, tapi mereka takut ada kesalahan yang memiliki konsekuensi hukum.
Karena hal ini lah kemudian Jokowi marah besar dalam sebuah sidang kabinet, yang beritanya sudah kita saksikan bersama.
Sementara itu di sisi kesehatan setelah kelaziman baru ini berlangsung tren kenaikan angka positif terinfeksi C-19 terlihat nyata, di DKI misalnya seminggu terahir ini angkanya terus menunjukan kenaikan, cluster -cluster baru perkantoran mulai terlihat.