Setiap peristiwa besar yang kemudian berkembang kerap kali melahirkan Teori Konspirasi, mulai dari yang bersifat lokal seperti pembunuhan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy hingga yang bersifat global yakni pandemi Covid-19 yang kini tengah mencengkram dunia.
Teori Konspirasi buat saya seperti fatamorgana, bayangan sebuah oase dengan air jernih yang tampak menyegarkan di tengah gurun pasir nan tandus. Terlihat nyata namun faktanya hanya ilusi optik belaka.
Saya cenderung melihat Teori konspirasi, terutama yang berkaitan dengan pandemi Covid-19 itu lahir karena frustasi akan keadaan.Â
Kenyataan yang terjadi akibat pandemi ini memang beragam efeknya bagi setiap individu, namun yang pasti setiap individu ini merasakan ketidakpastian, dan setiap individu tak pernah suka akan ketidakpastian.
Mereka tak tahu persis apa yang sedang dan akan terjadi, bagaimana pandemi ini bisa terjadi hingga menimbulkan kesengsaraan seperti yang kita rasakan saat ini.
Apalagi kemudian berkembang lagi, terdapat kenyataan baru bahwa kita terpaksa harus hidup berdampingan dengan virus ini, karena entah kapan vaksinnya ada, yang berarti ada "kenormalan baru" dalam hidup kita sehari-hari, yang berbeda dari normal sebelum pandemi.
Nah, kondisi inilah yang membuat Teori Konspirasi bisa tumbuh subur di tengah krisis, bak jamur di musim penghujan.
Lantaran Teori Konspirasi selalu menawarkan penjelasan yang gampang dicerna, tak ngejelimet terkait situasi critical yang terjadi dan seperti tanpa kepastian ini.
Definisi Teori Konspirasi  tak jelas benar, karena hingga saat ini tak ada konsensus ilmiah untuk mendefinisikan Teori Konspirasi.
Tapi secara sederhana Teori Konspirasi adalah teori yang menerangkan sebuah fenomena secara sederhana dengan bombastis.
Ada beberapa ciri terkait teori ini, yang pertama pandangannya selalu hitam putih, tak mengenal spektrum warna lain. Ya, artinya masalah di dunia ini sederhana saja, tak ruwet sama sekali.