Tapi sekali lagi ia lupa, perkataan Wapres itu bobotnya sangat tinggi dibanding masyarakat kebanyakan.
Saya teringat perkataan Djayadi Hanan, Direktur Executive Sjaiful Mujani Political Research, pada sebuah Seminar yang diadakan oleh Price Waterhouse Cooper (PWC) beberapa saat setelah kemenangan Jokowi -Ma'ruf Amin resmi diumumkan.
Djayadi mengatakan saat itu, bahwa tugas KH. Ma'ruf Amin sebagai Wakil Presiden sudah selesai saat pasangan tersebut memenangi pemilihan presiden tahun 2019 lalu.
Karena sejatinya, fungsi Ma'ruf Amin hanya diharapkan saat pemilihan  presiden dilangsungkan. Untuk meminimalkan isu-isu anti islam yang dijual oleh kubu Prabowo -Sandi saat itu.
"Di sinilah fungsi Ma'ruf Amin berada untuk menangkal keberadaan isu anti Islam, masa wakilnya ulama kok anti Islam," ujar Djayadi saat itu.
Bisa jadi mungkin perkataan Djayadi Hanan ini benar, jika kita menilai kiprah Ma'ruf Amin sebagai Wapres di awal Pemerintahan Jokowi yang sudah berlangsung selama 5 bulan ini.
Survey yang dilakukan Indobarometer  yang dirilis ke publik tanggal 17 Februari 2020 lalu, menunjukan hal yang serupa.
Tingkat kepuasaan masyarakat terhadap kinerja Ma'ruf Amin hanya 49,6 persen saja.
Angka ini masih di bawah JK saat ia jadi Wapres yang angkanya mencapai 53,3 persen.
Namun menurut Fahri Hamzah mantan politikus PKS, fungsi Wakil Presiden memang seperti itu, dalam demokrasi kita fungsi Wapres itu hanya ban serep.
"Ma'ruf Amin  hanya fungsional kalau difungsikan. Kalau tidak difungsikan dia simbolik aja. Tapi jangan lupa, dia adalah orang yang tidak bisa diganti karena dia dipilih oleh rakyat," katanya kepada wartawan, di Jakarta, Senin (17/2/2020) seperti yang dilansir Wartaekonomi.com.