Banjir oh banjir, masalah kota Jakarta yang sepertinya tak pernah ada solusinya. Bahkan Jakarta dan banjir seperti sahabat karib yang tak terpisahkan.
Sejarah banjir di Jakarta sangat panjang, Jakarta sudah akrab dengan kondisi banjir sejak 3 abad lalu, ya sejak jaman Hindia Belanda.
Pada awal tahun 1700an, Jan Pieterszoon Coen Gubernur Jenderal Belanda merancang Jakarta yang saat itu benama Batavia sebagai Waterfront City dengan membangun kanal-kanal air seperti di Amsterdam.
Kanal-kanal ini dibangun setelah 2 banjir besar sempat melanda Batavia pada tahun 1621 dan tahun 1654. Walaupun demikian, setelah kanal-kanal itu selesai terbangun banjir masih tetap melanda Jakarta.
Banjir besar terjadi lagi tahun 1873 dan 1918. Selepas banjir tahun 1918 yang merupakan banjir terparah dalam dua dekade terkhir.Â
Untuk mengantisipasi agar banjir parah tak terjadi lagi, tahun 1920 Gubernur Jenderal Belanda saat itu Johan Paul van Limburg Stirum, mulai merancang dan membangun tata air yang komprehensif dengan menunjuk Ir.H.van Breen untuk mengendalikan banjir mulai dari hulu di Bogor, pengendali di Depok hingga hilir mulai dari Manggarai sampai Muara karang.
Tapi apa daya, meskipun awalnya mampu mengendalikan banjir tapi nyatanya dalam beberapa tahun berikutnya banjir terjadi lagi.
Tahun 1965 banjir besar kembali melanda Jakarta. Sistem tata kelola air Breen, tak lagi relevan dengan keadaan Jakarta saat itu.
Pada tahun 1972, pemerintah Indonesia membentuk Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya, yang kala itu Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin membangun waduk dalam kota serta membuat saluran baru di Cengkareng dan Cakung, bersama Netherlands Engineering Consultants.
Meskipun usaha terus dilakukan untuk mengatasi banjir, namun banjir terus terjadi. Pada tahun 1979 saat Gubernur DKI Tjokropranolo banjir besar kembali melanda Jakarta.
Hampir 1100 hektar wilayah Jakarta terendam banjir. Begitupun pada tahun 1996 curah hujan yang sangat tinggi membuat beberapa wilayah Jakarta  terendam setinggi 7 meter.