Dalam perjalanan sebuah kisah, apapun tindakan kita tak akan mampu memyenangkan semua pihak. Terlihat membawa kebaikan bagi sebagian pihak, belum tentu kebaikan  itu menyenangkan pihak lain.
Ya itulah yang terjadi atas Direktur Utama Tetlevisi Republik Indonesia (TVRI) Helmy Yahya, dianggap sebagian pihak sebagai pembawa angin segar perubahan di perusahaan penyiaran milik negara oleh sebagain besar masyarakat Indonesia.
Tapi tidak bagi Dewan Pengawas TVRI, Helmy Yahya  oleh banyak pemirsa TVRI di Indonesia dianggap membuat program acara menjadi lebih kekinian dan begizi.
TVRI saat ini sangat berbeda dengan TVRI 2 tahun lalu, pendekatan teknis, cara pembawa berita dan reporternya dalam berinteraksi menjadi lebih baik.
Program acara TVRI menjadi banyak peminatnya, hak siar liga Inggris berhasil mereka dapatkan, Olimpiade Tokyo hak siarnya berhasil digenggam, konon katanya hak siar Piala Eropa ia raih.
Bahkan TVRI menobatkan dirinya sebagai The House of Badminton, karena mereka menyiarkan hampir setiap event turnamen bulutangkis yang diselenggarakan Badminton World Feferation (BWF) secara langsung.
Rating pun melambung tinggi, namun rupanya hal ini tidak tetap tidak  memuaskan Dewan Pengawas beserta jajarannya.
Mereka beranggapan Helmy Yahya tidak membawa marwah TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP)
Menurut kacamata para anggota Dewas yang terhormat, arah TVRI semasa Helmy memimpin tak mencerminkan sebuah Lembaga Penyiaran Publik.
Rating seharusnya tak menjadi standar buat mereka. Rating tak berlaku bagi sebuah Lembaga Penyiaran Publik
Program LPP menurut para Dewaa TVRI, seharusnya lebih menonjolkan ke-Indonesia-an, walaupun tak jelas juga Ke-Indonesia-an seperti apa yang mereka maksud.
Atas dasar itu kemudian Dewas menonaktifkan Helmy Yahya  Desember 2019 lalu, yang kemudian mendapat perlawanan dari Helmy.
Walaupun Surat Keputusan tentang penonaktifan  sudah di keluarkan, namun  Helmy kemudian melakukan perlawanan dan tetap menyatakan dirinya sebagai Direktur Utama TVRI.
"Surat Keputusan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2019 Tanggal 4 Desember 2019 tentang penetapan non-aktif sementara dan pelaksana tugas harian direktur utama LPP TVRI periode tahun 2017-2022 adalah cacat hukum dan tidak mendasar," kata dia dalam surat tanggapannya seperti yang  dilansir  katadata.co.id, Kamis (5/12/19) lalu.
Kisruh pun terjadi, ini entah kali ke berapa Manajemen operasional TVRI bersitegang dengan Dewas. Karena sebelum Helmy masuk pun tak sekali dua kali pecat memecat terjadi diantara para pejabat TVRI.
Dewan Pengawas sepertinya terlalu mengintervensi kerja-kerja kreatif ditataran operasional.
Sempat di tengahi oleh Menteri Komunikasi dan Informati (Menkominfo) Johnny G Plate. Kepurtusannya tak ada keputusan hanya menunggu diselesaikan secara intenal dengan batas waktu selama  2 bulan  untuk Dewan Direksi menjawab segala tuduhan yang menjadi dasar penonaktifan Helmy oleh Dewas.
"Kalau dirasa poin-poin jawaban dari direksi dapat diterima, dengan begitu Dewab Pengawas bisa membatalkan pemberhentian. Namun apabila 2 bulan tidak ada respons berarti pemberhentian tersebut batal," jelas Johnny  6 Desember 2019 lalu, seperti yang saya kutip dari Tribunnews.com
2 bulan belum genap, kembali surat pemecatan terhadap Helmy Yahya Direktur Utama TVRI periode 2017-2022 dikeluarkan oleh Dewan Pengawas, hari Kamis, 16 Januari 2020 kemarin.
Surat Pemberhentian yang diteken oleh Ketua Dewas Thamrin Dahlan melalui Surat Dewan Pengawas TVRI Nomor  8/Dewas/TVRI/2020
Dalam surat tersebut ditulis ada lima poin yang melatarbelakangi pemberhentian Helmy sebagai Dirut TVRI.
Pertama, Helmy dianggap tidak memberikan penjelasan soal pembelian program siaran berbiaya tinggi seperti Liga Inggris.
Kedua, terdapat ketidak sesuaian re-branding TVRI dengan rencana kerja yang telah ditetapkan. Selain itu, rencana siaran tidak mencapai target karena anggaran tak tersedia.
Ketiga, beberapa dokumen menyatakan sebaliknya dari jawaban terhadap penilaian pokok surat pemberitahuan rencana pemberhentian, antara lain mutasi pejabat struktural yang tidak sesuai norma dan standar manajemen ASN.
Keempat, penunjukan kuis siapa berani melanggar Undang-Undang nomor 30 rahun 2014 tentang Aministrasi Pemeintahan.
Kelima, Premis-premis yang diajukan Helmy tidak bisa meyakinkan Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI.
Padahal semua pihak tahu program siaran tersebut adalah salah satu acara yang mendongkrak rating TVRI sehingga seperti sekarang.
Bahkan, TVRI sempat meraih rating tertinggi saat mereka menyiarkan Pertandingan Sepakbola antara Indonesia vs Malaysia dalam Pra Piala dunia 2022, mengalahkan berbagai sinetron di SCTV dan RCTI, dengan capaian TVR (rating) 5,8 dan TVS (share) 21,8.
Imej TVRI sebagai stasiun TV yang kuno tak mampu beradpatasi dengan kekinian mampu ditepis oleh Helmy, ketika ia membuat program-program yang tak dimiliki oleh stasiun TV lain.
Tak hanya program-program olahraganya, beberapa progran lain seperti Discovery Channel juga sangat digemari dan tak dimiliki oleh stasiun TV nasional lain.
Pembawa acaranya, kini muda-muda dengan cara penyampaiannya bisa membuat milenials kembali merasa terhubung dengan TVRI.
Walaupun beberapa program yang ikonik seperti acara Dunia Dalam Berita tetap dipertahankan namun dalam format yang lebih segar.
Terkait pemberhentian  ini, Helmy Yahya, menurut rekan kerjanya di Komisi I DPR, Farhan.
Hari ini Jumat 17 Januari 2020 Helmy akan memberikan penjelasan atas pemberhentian dirinya.
Perubahan itu terkadang memang kerapkali akan membuat banyak pihak tak nyaman dengan berbagai alasan.
Entah karena alasan ekonomi, politik atau budaya. Atau mungkin ketiganya bercampur aduk. Mungkin itu yang terjadi, tak sekali juga Dewas TVRI justru menjadi pangkal dari kekisruhan yang terjadi di TVRI.
Semoga ada solusi terbaik menyelesaikan maslaah ini, jangan karena urusan menang-menangan pengaruh, kepentingan lebih besar harus dikalahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H